Sabtu, 06 November 2010

MUTIARA DIANTARA DEBU


Ia ada tak ada yang menduga                      
Telah sekian lama ia merindukan surga
Kau, aku dan mereka tak pernah menyadarinya
Ia sendiri dengan tangan yang terluka merangkainya
Ia menguntai debu menjadi mutiara
Hanya karena ia ingin menebus luka  dimasa lalunya
            Sudah bertahun-tahun ia melakukan pekerjaan itu. Berkeliling kota menjajakan kue kue hasil tangannya. Sampai usianya ditandai dengan rambut yang memutih, bercak serta kerut pada pipi  yang nampak bulat-bulat menghitam, dan sorot mata yang dirasakannya tambah merabun. Ia sebatang kara.                     Tak banyak yang ia tahu dalam hidup ini.    " Ia merasa ada yang layak ditebus dari perjalanan usianya, tanpa siapapun mengetahuinya,”  demikianlah  ia menghimbau kepada dirinya. Setiap hari yang dikerjakannya berjalan berkeliling kota sambil  merangkai kebaikan.. Ia mempertahankan hidupnya, hanya dengan membuat kue kue basah, tak banyak macamnya, hanya kue yang dirasa ia bisa, itulah yang dibuatnya. Iapun tak pernah alpa mengirimi anak anak terlantar dipinggir jalan itu dengan makanan yang dibuat oleh tangannya.  Meski sangat sederhana, anak anak itu berkeliling mengerubutinya, laksana semut berebut gula. Hatinya merasa lega. Diam diam satu dua tetes air matanya jatuh. Peristiwa kecil itu telah membuatnya terharu dan bahagia. Hatinya memang sangat lembut. Selain itu, tak ada yang dikerjakannya. Sesekali dikunjunginya gereja. Itupun bila dilihatnya gereja  telah sepi. Tempat suci itu memang tak setiap minggu dikunjunginya. Ia tak berani bertemu muka dengan orang orang yang kadang mengaku lebih suci dari manusia yang lainnya itu. Ia menganggap dirinya tak layak berhadapan dengan manusia lainya. Ia merasa dosa telah menumpuk dalam tubuhnya. Maka begitulah ia menjalani hari harinya, sambil menunggu sisa usia yang diberikan oleh Sang Kuasa.  Bolehlah orang-orang menyebut dirinya sebagai nenek yang menyelimpang dari jalan yang lazim, paling tidak dari kewajaran hidup sehari-hari.
             Dulu, ia pernah menyebut diri sebagai perempuan laknat. Yah….. dulu ia  memang hanya seorang pelacur, kenyataan itu tak dapat dipungkirinya. Seseorang yang sama sekali tidak memiliki apapun untuk dibanggakan dalam hidup ini, kecuali hanya bisa memberikan kebahagiaan sesaat kepada setiap lelaki yang tidak pernah  merasa puas dengan apa yang telah dimilikinya. Seorang pelacur yang tak pernah mendapatkan tempat terbaik dibelantara bumi ini. Dulu ia sering  bertanya dalam hati “ Aku selalu memberikan surga kenikmatan kepada semua laki-laki dibumi ini, tetapi apakah sebaliknya ada surga untuk pelacur sepertiku?” Ia pernah berusaha berontak terhadap takdir , namun ia tak kuasa untuk menghindar. Keadaan mengharuskannya bekerja seperti itu. Selain  terpaksa melacurkan diri, ia tidak tahu lagi harus bekerja sebagai apa.  Karena kecuali menjadi pelacur, tak banyak yang ia tahu dalam hidup ini.
              Waktu itu  usianya masih 14 tahun. Ayahnya  telah menyerahkan dirinya kepada orang yang dianggap kaya didesanya. Hidup yang layak bagi keluarganya sebagai ganti hidupnya. Tentu saja  ia tak pernah bisa menolak mandat dari ayahnya. Maka jadilah ia istri kelima, karena orang kaya itu telah memiliki empat istri sebelumnya. Dan pada akhirnya ia  dijual untuk menjadi pelacur ke Jakarta, setelah suaminya itu memiliki  istri istri lain  yang lebih cantik, lebih muda dan lebih menarik dari dirinya. Sejak saat itulah ia  merasa hidupnya telah ditakdirkan untuk menjadi seorang pelacur.  Baginya menjadi pelacur adalah kewajiban, dimana laki laki dan malam ia  abadikan lewat sisa usia yang ia miliki. Entah sudah berapa banyak laki laki yang pernah tidur dengannya, ia tidak pernah menghitungnya.  Iapun tak pernah mengingatnya. Saat seperti itu ia hanya merasa berarti dan dibutuhkan. Meski hanya sesaat perasaan itu ada. Tak mengapa . Ia merasa disitulah harga dirinya diletakkan.  Ia tak pernah memiliki kuasa atas dirinya sendiri, hanya nafsulah yang begitu setia menemani hari harinya.  Kadang ia berpikir tentang bertaubat dari semua dosa dosanya,  namun ia  benar benar tak pernah bisa untuk melakukannya.   Ia hanya bisa  pasrah bersahabat dengan air mata saat memikirkan hidupnya bersama laki laki dan malam.
             Setiap malam ia mendandani dirinya secantik mungkin untuk menarik perhatian para laki laki hidung belang yang datang. Setiap hari ia berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para lelaki berduit yang ia temani duduk-duduk, minum, sampai akhirnya ke kamar tidur. Mereka adalah para lelaki kesepian yang butuh pelukkan. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan. Para lelaki yang merasa tidak dihargai lagi oleh pasangannya dan para lelaki yang tidak tahu lagi ke mana harus  menghamburkan uang mereka yang berlebihan.  Ia tak pernah berpikir tentang dosa ataupun rasa terluka dari para istri yang suaminya begitu suka datang kekompleks hiburan malam itu. Sebenarnya ia juga  sadar,  dengan takdirnya, ia telah menabur dosa kepada semua laki laki yang pernah tidur bersamanya. Namun hati nuraninya kala itu telah terlatih untuk kebal terhadap sebuah perasaan  dosa. Begitulah ia menjalani hari harinya sebagai seorang pelacur.
            Sampai suatu malam, tiba tiba ia merasa hidupnya lelah sekali.  Sang pencipta hidup itu rupanya sangat mengasihinya. Diberinya aliran indah dari surga untuk menyentuh hatinya. Hingga kepalanya tersungkur dihadapanNYA, sambil berurai air mata. Sesuatu yang telah lama tak pernah dilakukannya. Ia menangisi hidupnya. Ia merasa hidupnya sangat kotor dan tak layak diperlakukan demikian oleh Tuhannya. Saat hatinya merasa damai, ia nampak tak mempercayai perasaannya. Tapi,  kalau Tuhan telanjur menangkapnya, iapun tak mau melawan kehendakNYA. Ia sadar, pada saat-saat tertentu Tuhan akan menjamah setiap hati manusia. Tak terduga, tak tertebak.  Setelah malam itu, tiba tiba ia ingin berada didunia yang baru. Menjalani kehidupan yang baru, kehidupan yang  bisa membuat orang lain lebih bisa menghargainya. Tak peduli kehidupan seperti apa,  ia ingin sekali    berada ditempat yang   berbeda, dimanapun itu, asal tidak ditempat pelacuran.
            Hidup meniadi perempuan baik baik memang tidak mudah. Statusnya sebagai mantan pelacur membuat orang orang disekelilingnya kurang menghargai keberadaannya. Begitu banyak tatapan tatapan sinis  yang ia terima dari lingkungan dimana ia tinggal. Namun pada akhirnya  ia menyadari keberadaannya. Ia mulai menyukai dunianya dengan segala ketenangannya. Ia tak ingin menanggapi orang orang itu yang tak tahu apa apa tentang perasaannya. Mereka hanyalah orang orang bodoh yang sok tahu. Mereka semua membicarakannya penuh kesenangan, seolah olah ia kotoran yang menjijikkan yang harus dihindari. Ia tak peduli, karena ia tahu ada seseorang yang memperlakukannya dengan baik. Yach…. Tuhan, Tuhan tahu yang terbaik untuknya dan Tuhan telah mengangkatnya dari lumpur dosa untuk menjadi manusia yang berharga dimataNya. Ia yakin bekas pelacur kotor seperti dirinyapun akan layak masuk  ke dalam surga. 
            Itulah cerita masa lalu yang ingin ditebusnya.               Para tetangga dikampungnya, pernah hampir  mengusirnya ketika ia masih dianggap sebagai pelacur. Bahkan ketika ia masuk kegedung gereja, tempat yang seharusnya siapapun boleh datang, ia ditolak. Itulah mengapa ia tak mau bergaul.                                  Ia bersyukur. Tuhan berpihak kepada pendiriannya.                           Setiap hari bahkan ia bersimpuh, tanpa harus kerepotan berjalan tertatih, memasuki tempat ibadah.  Ia bisa kapan saja menghubungi Tuhannya, tanpa perlu mendapatkan tatapan sinis dari para anggota  gereja yang merasa dirinya masih  wanita berdosa.
            Begitulah dari hari yang satu ke hari yang lain ia menjalani hidupnya. Semau-mau ia menapak, asalkan ia bisa bersama Tuhan. Hatinya memang telah melekat kepada Tuhan. Ia telah menjadi orang yang beriman dan hatinya lurus dihadapan Tuhan. Berkali-kali telah ia robek ingatannya terhadap tatapan sinis serta kebencian yang sering ia terima. Ia hanya ingin memaafkan orang orang yang selalu menghinanya. Ia hanya ingin bahagia dan ia hanya menginginkan surga dalam hidupnya.

Jakarta, 06 Desember 2010, Saat tak kusadari begitu banyak orang orang baik  yang hidupnya tertolak, bahkan oleh diriku sendiri.  Mutiara diantara debu begitulah aku menyebut mereka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar