Jumat, 05 November 2010

MIMPI BERTEMU TUHAN


Hari ini seperti biasa ia akan membuka matanya setelah matahari  berada di tengah tengah bumi. Semua dikarenakan ia bekerja sebagai penjaga night club, yang baru pulang pagi dini hari. Namun kali ini ada yang tak biasa dari kebiasaannya. Siang yang benderang itu ia mendapati dirinya terbangun dengan separo kesadaran. Belum genap satu menit dia terbangun, namun dalam otaknya telah terpatri sebuah peristiwa indah. Ia merasa peristiwa itu nyata dalam hidupnya. Dan ketika ia mendapati dirinya penuh dari kesadarannya, dia ingat peristiwa itu ada dalam mimpinya. Ia seorang yang merasa dirinya bejat, nyatanya bermimpi tentang seorang berjubah putih dengan wajah yang bersinar penuh kemuliaan. Mungkinkah ini hanya sebuah halusinasi , karena dirinya merasa  tak layak bertemu dengan Tuhan? Tapi   ia tetap yakin bahwa seseorang yang ada dalam mimpinya itu adalah Tuhan.
            Setiap hari yang dikerjakannya,  bangun menjelang siang setelah malamnya menghabiskan berbotol-botol bir bersama teman-teman di night club tempatnya bekerja. Tidak ada yang pernah benar-benar tahu siapa nama aslinya. Semua orang memanggilnya Badrun, tentu itu bukan nama aslinya. Badannya tinggi besar, kulitnya gelap, sebenarnya  tak mirip sekali dengan preman. Namun sikap dan gerak tubuhnya mencerminkan sosoknya yang sangar. Ia tak pernah tersenyum, melihatnya  orang akan memberi kesan dingin. Tak ada yang  mau bersahabat dengannya, kecuali memang orang orang yang merasa satu habitat dengannya.
            Sang pembuat mimpi itu sangat baik pada dirinya. Tentu saja dia heran, dirinya yang selama ini menganggap dunia brengsek, dan telah menyeretnya menjadi seorang brengsek pula, tiba-tiba menjadi orang terpilih yang bertemu dengan Tuhan dalam mimpinya. Ia tak tahu apa artinya, tapi mimpi itu sangat jelas. Ia bertemu dengan lelaki yang berwajah terang dan mengulurkan tangan kepadanya. Hanya satu sosok yang berwajah demikian dibumi ini yaitu Tuhan.
            Telah  delapan tahun berlalu, masih bisa dihitung dengan jari ia masuk ke dalam gereja . Itupun karena ada perayaan natal dan ia dipaksa untuk ikut menghadirinya. Belum pernah benar benar keluar keinginan yang tulus dari hatinya yang terdalam untuk datang ke gereja. Walau tak pernah ke Gereja, Badrun mengaku beragama Kristen. Ia tak pernah berdoa, tak pernah beribadah. Tapi pada lengan kanannya tergambar tatto sebuah salib yang lumayan besar. 
            Hari itu diisinya dengan tidur dan baru terbangun saat matahari hampir menyembunyikan diri. Sengaja dilakukannya. Dia berharap mendapatkan mimpi yang sama. Nyatanya mimpi itu tak lagi menghampirinya. Matanya terbuka, memandang keluar jendela. Aroma pisang goreng tetangga disebelah kontrakannya  menyeruak ke hidung bercampur dengan aroma kamarnya yang lembab. Pemandangan diluar jendela kamarnya memaksanya untuk berpikir, sedikit linglung dia memprediksi dirinya, manusia macam apakah dirinya? Tak pernah berdoa, tak pernah beribadah, tak pernah pula berbuat kebajikan. Kemudian ia teringat kembali akan mimpinya, ia merasa aneh, benarkah  seorang berjubah dan berwajah terang itu adalah Tuhan? Betapa tersanjungnya ia, saat berpikir itu adalah Tuhan. Konon sudah dua kali dia bermimpi seperti itu.  Ia belum bergeming dari tempat tidurnya serta masih melihat suguhan pemandangan yang terlihat dijendela kontrakannya.  Anak anak kecil yang berlari larian ditengah gang gang kumuh rumah kontrakannya               dan para penjual yang lalu lalang melintas didepan matanya. Penjual mie ayam, bubur ayam, dan  aneka makanan lainnya yang lewat depan kontrakannya tak juga menggugah perasaan laparnya. Ia sudah tak peduli dengan kata “makan“ lagi,  yang diotaknya hanya bayangan dari mimpinya saja.  Ia mengingat-ingat, kapan mimpi dengan peristiwa yang sama itu pernah ia alami. Apakah saat itu pagi atau senja. Usianya baru sembilan tahun, ia rajin sekali kegereja. Ibunya wanita yang baik hati itulah yang menyuruhnya ke gereja.  Ibunya  muncul dari balik pintu menyapa dengan lembut,  " Sudah bangun rupanya kamu Firman, sebentar lagi harus ke sekolah minggu kan?” Akhirnya ia ingat, dia terbangun saat pagi hari dan dihari minggu pula.  Ia tak bergegas, mengingat-ingat mimpinya siang itu. Tapi ia berusaha mengingat ingat mimpi yang sama delapan belas tahun yang silam. Yah…….seorang berwajah terang itu sama dengan yang ada dalam                     mimpinya tadi siang. Begitu jelas, ia tak lupa lagi.   Sehabis pulang dari gereja, teman-temannya berteriak memanggil-manggil namanya mengajaknya pergi ketaman untuk bermain.  Tapi ia tak mau pulang. Ia tetap ingin berada didalam gereja dan menunggu sepi. Ia ingin berbicara dengan guru sekolah minggunya.

"Pak Peter, aku bermimpi aneh." Katanya kepada guru sekolah minggunya yang bernama Peter.
"Mimpi apa?" tanya Pak Peter
"Mimpi bertemu Tuhan."
"Kau mimpi bertemu Tuhan?"  Dengan rasa terkejut Pak Peter menanggapi cerita Firman. Dihati pendeta muda itu  harus mengakui ada rasa iri yang menyelip. Bahkan dirinya yang sudah berumur dan menganggap cukup taat beribadah saja belum pernah mimpi bertemu dengan Tuhan. “Bagaimana rupanya?” tanya Pak Peter.  “Wajahnya terang sekali, Dia berjubah putih.                      DIA mengulurkan tanganNya kepadaku?”                               “ Kau tidak sedang berbohong kan, Firman?”  Firman kecil tak mengerti kenapa guru sekolah minggunya tak percaya dan malah menuduhnya sedang berbohong. Siang itu ia pulang dengan perasaan kecewa.                                                                                 Sepulang dari Gereja, ia menceritakan mimpi itu kepada ibunya.  “Semalam aku mimpi bertemu Tuhan bu! Pasti itu Tuhan, karena wajahnya terang sekali.” Ibunya terkejut mendengar cerita Firman. "Mimpi apa?" ”Mimpi bertemu Tuhan Bu! Tangannya terulur kepadaku, begini!” ceritanya lagi sambil
menirukan gaya seseorang berjubah putih dengan tangan terbuka yang ada dalam mimpinya. ’“Itu pasti Tuhan ya Bu! Seperti Rasul Paulus yang melihat cahaya terang dan berbicara, itu juga suara Tuhan kan Bu?” Ibunya terharu, mengelus pelan rambut anaknya, sambil mengangguk angguk tanda setuju bahwa yang bertemu Firman dalam mimpinya memang benar benar Tuhan.                                        Seperti biasa, setiap minggu siang Firman selalu pergi ke gereja untuk sekolah minggu. Selesai ibadah kali itu pula dia tak langsung pulang. Diceritakannya kembali tentang mimpinya seminggu yang lalu kepada teman temannya. Dengan bangga ia bercerita bahwa ia telah bertemu dengan Tuhan. “Hanya orang-                        orang terpilih yang bisa ditemui oleh Tuhan  didalam mimpinya," ujar Pak Peter guru sekolah minggunya.
 "Apakah itu berarti aku orang terpilih?"
 "Kau yakin tak berbohong atas cerita dimimpimu itu? Berbohong itu dosa Firman!"
Teman-temannya yang tadinya antusias mendengar cerita Firman tentang mimpinya bertemu dengan Tuhan, jadi terdiam. Memandang bergantian antara Firman dan Pak Peter.   Firman kecewa sekali dengan perkataan guru sekolah minggunya itu.
Sejak itu ia tak pernah lagi bercerita ataupun sekedar             mengingat ingat mimpinya.  Ia tak ingin dianggap sebagai pembohong  oleh Pak Peter dan juga teman-temannya.                                                             Menjelang malam, laki-laki yang dipanggil Badrun itu bersiap siap untuk berangkat bekerja. Belum sedikitpun perutnya terisi dengan makanan . Ia berjalan ke warung nasi dekat rumah kontrakkannya untuk makan. Ia masih tetap mengingat-ingat mimpinya tadi. Ada sekelompok orang yang sedang makan minum diwarung tersebut sambil berkelakar, namun hanya dirinya yang merasa menjadi orang asing disitu. Ia merasa betapa ganjil kehidupannya dibandingkan dengan orang lain. Ia kesepian dan tak memiliki sahabat.  Usai makan, iapun  langsung berangkat menuju ketempat kerjanya.
            Hari itu, ia tak minum seperti biasanya.     "Tumben nggak minum Bang?” tanya bar tender yang biasa melayaninya. Badrun hanya tersenyum atas pertanyaan itu.  Sudah sejak lama dirinya bergaul dengan minuman keras. Ia bersahabat dengan minuman haram itu sejak kematian ibunya delapan tahun yang silam. Ia merasa Tuhan tak pernah bersikap adil dengan hidupnya.  Ibunya adalah satu satunya keluarga yang dimilikinya setelah ayahnya meninggalkan mereka bersama dengan perempuan lain. Masih terpatri dalam benaknya, malam malam saat ayahnya pulang dalam keadaan mabuk dan memukuli ibunya. Ibunya tak mau diduakan dengan perempuan lain dan minta diceraikan. Namun ayahnya tak mengabulkan permintaan cerai itu.  Saat itulah ayahnya lebih sering pulang malam dan menyebabkan tubuh ibunya memar memar. Pemandangan itu seringkali dilihat oleh Firman. Jika ibu bertanya habis dari mana, tangan ayahnya melayang ke pipi ibu, meninggalkan bekas memerah. Sedang ia akan terbangun, mengintip dari balik tirai pintu. Hingga suatu hari ayahnya tak pernah mau kembali lagi kerumah dan pergi dengan perempuan selingkuhannya. Seringkali Firman memergoki ibunya menangis sendirian dikamar. Tak tahan dengan  penderitaannya, ibunya jadi sakit sakitan dan akhirnya meninggal. Sejak itu Firman sebatang kara, tak tahu arah harus melangkah kemana. Maka Night club  inilah tempat yang dirasakan cocok untuknya. Dengan  minuman minuman haram itu dia merasa bisa melupakan keresahan batinnya, meski hanya sesaat.                                                            
Sudah sekian lama Badrun duduk terdiam, tiba tiba                ia merasa jiwanya lelah sekali. Mimpi itu telah merampas seluruh otaknya.  Dihitungnya sudah berapa lama ia tak pernah lagi berpikir tentang keberadaan Tuhan.  Ia ingin kembali datang ke gereja menemui penciptanya. Tapi niat itu tak pernah benar benar dilakukannya. Semakin lama ia menenggelamkan diri dengan minuman haram itu, semakin urung   pula niatnya untuk mencari dan bertemu Tuhan.                                                                         Siang itu ia duduk didepan pusara ibunya.  Delapan tahun sudah sejak kematian ibunya, ia tak pernah menengok makam ibunya. Air matanya menetes meski tak banyak. Dia yakin ibunya pasti sedih melihat kehidupannya sekarang.  Tapi ia berjanji akan menjalani hidupnya dengan benar. Mimpi bertemu Tuhan membuatnya merasa, bahwa Tuhan memang telah memilihnya. Ia merasa memiliki sandaran sekarang. Seseorang berwajah terang dalam mimpinya itu telah mengulurkan tangan kepadanya. Ia tak mau berpaling lagi dari Penciptanya. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya di night club.  Teman temannya dan    orang orang yang sering berada dinight club itu  heran karena tiba tiba Badrun mengundurkan diri.                                                                     Saat ia melihat tangan kanannya yang bertatto salib besar itu, ia  berjanji dalam hati. “Tanda ini bukan  supaya aku terlihat sangar, tapi tanda ini memperlihatkan bahwa ada ringkasan yang mendalam antara aku dan Penebusku. Tanda bahwa aku telah ditebus dengan harga yang mahal. Dan tanda salib ditanganku inipun menggugah aku untuk menyerahkan seluruh hidupku kepadaNya. Menjadikan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatku yang tunggal”
 Tuhan……..  ini aku,  datang kepadaMu.

Jakarta  27 November 2009, Tuhan tak pernah melihat siapapun, dari kalangan manapun untuk menjadikan orang orang pilihanNYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar