Sabtu, 06 November 2010

KENANGAN TENTANG AYAH


Usiaku baru menginjak 9 tahun saat itu.   Siang  itu saat matahari masih berada ditengah tengah bumi dan aku baru saja pulang dari sekolahku. Dihalaman rumahku nampak sebuah sepeda dengan model yang unik. Tak ada seorangpun dihalaman itu.  Tak juga kulihat ibuku yang biasanya ada didepan pintu untuk menyambutku setiap aku pulang sekolah. Dibawah pohon jambu sepeda kecil berbentuk unik itu diletakkan. Warnanya biru hitam. Tidak seperti sepeda milik teman temanku disekolah, tidak pula mirip dengan sepeda milik  anak anak tetanggaku. Setang nya lurus tanpa lekukan, tempat duduknya kotak memanjang, tidak seperti sadel sepeda biasa. Bisa untuk membonceng dua orang.  Mungkin didunia ini hanya ada satu sepeda yang berbentuk unik seperti itu. Ah…..sayang sekali aku tak terlalu pandai untuk menggambarkan keunikan sepeda yang aku lihat dibawah pohon jambu itu.
            Dengan hati yang berdebar penuh tanya, kemudian ku hampiri sepeda yang diletakkan dibawah pohon jambu itu. Diatas setangnya ada sebuah kertas kecil bertuliskan “Untuk anakku Winda, yang telah membuat ayah bangga”. Deg……hatiku bersorak, ternyata sepeda yang menarik perhatianku itu adalah milikku. Ayah memberikan untukku sebagai hadiah natal. Aku berteriak kegirangan menerima hadiah itu. Yah……itu adalah sepeda pemberian ayah, buatan tangan ayah sendiri. Itu adalah  salah satu hadiah terindah yang pernah ayah berikan kepadaku selain hadiah hadiah lain yang tak terhitung maknanya. Ayahku memang ayah terbaik yang aku miliki, ia tahu apapun yang terbaik untukku.   Perasaan bahagia itu selalu terukir indah didinding hatiku. Sebuah perasaan yang hanya ingin kumiliki sendiri dan  tak ingin kubagi. Ku hampiri ayah dan kupeluk ia sebagai luapan terima kasihku yang tak terhingga.
            Itu hanya salah satu kenangan manis yang aku miliki bersama ayah. Selebihnya terlalu banyak kenangan indah yang tak bisa dihapuskan meski oleh waktu sekalipun. Yah….kenanganku tentang ayah  dimasa kecilku memang sangat indah sekali. Namun sayang aku telah mengaburkannya dengan kenangan yang buruk. Aku sendiri yang melukiskan kenangan buruk itu dalam hidupku. Aku pernah menolak ayah, diam diam aku pernah tak mengakuinya sebagai ayahku. Tanpa ayah tahu kebenaran itu sampai ia meninggal. Padahal alangkah membanggakannya, apa yang ia lakukan untukku.  Setiap kali aku mengingat kenangan itu, selalu ada kelebat sedih, air mataku selalu menetes, hatiku sesak, pahit sekali kenyataan itu. Bukan hanya sekali aku menolaknya, tapi beberapa kali aku sendiri yang membuat diriku berkhianat terhadap ayah. Dan semua itu kulakukan hanya  karena aku malu dengan pekerjaan ayah. Ayahku bekerja disebuah bengkel mobil. Setiap hari ia selalu kotor dan berdebu. Wajahnya selalu kotor belepotan dengan minyak pelumas yang warnanya hitam dekil. Ia selalu mengenakan celana jeans pendek usang dan kaos berlengan pendek berwarna  hitam dan kumal. Itulah seragam kerja ayah. Pagi pagi ia sudah berangkat bekerja, dan baru pulang disore hari. Ia mengayuh  sepeda bututnya menuju kebengkel mobilnya. Semua itu menggambarkan betapa lelahnya ayah telah  bekerja untuk kami sekeluarga. Dan aku sebagai anaknya, malah merasa malu tak mengakuinya. Ayah telah menunjukkan cintanya yang begitu dalam kepadaku, dan aku membalasnya dengan penolakkan. Aku memang pantas diberi gelar  sebagai anak durhaka. 
            Ah…….Sebenarnya aku tak selalu senang mengenang kesilaman, namun bayangan itu seperti sketsa tanpa batas yang selalu memburuku. Harusnya waktu hanya menyodorkan sejumlah kenangan yang warna warninya indah saja. Namun sesekali kelebat kesedihan masa silam itu datang lagi mengoyak hatiku. Padahal kalau boleh, aku hanya ingin mengembara kemasa lalu yang  bahagia saja. Ketika ayah menjadikanku ratu didalam istana keluarga. Ratu kecil yang tak pernah kehabisan sanjungan, kasih sayang serta kado kado istimewa yang ayah berikan dengan seluruh keringatnya yang telah  mengkristal. Saat ini, dadaku sesak, aku teringat kepada ayah dan aku merindukannya, namun terselip penyesalan saat aku berkhianat terhadap keberadaan ayah. Saat aku mulai bisa mengatur perasaanku, adegan adegan dimasa lalu itu berkelebat dan silih berganti datang seperti video usang yang diputar dalam player yang baru. Bukan tanpa alasan aku teringat kepada ayah, hari ulang tahunku itulah yang memancing riak riak penyesalanku hingga aku terkenang.
            Saat itu aku berulang tahun yang ke tujuh belas. Orang bilang sweet seventeen. Ayah dan ibuku merayakan hari bersejarahku itu secara besar besaran. Ayah memang selalu ingin memberikan yang terbaik untukku. Tanpa sepengetahuanku dan meminta ijinku, iapun mengundang seluruh teman temannya. Ia begitu bangga dengan aku, karena aku adalah putri semata wayangnya. Sayang sekali, pesta ulang tahun ketujuh belas yang aku harapkan itu tak sesuai dengan rencanaku. Ayah telah merusaknya dengan menghadirkan semua teman  temannya. Mirip dengan kondangan pengantin yang ada dikampung.    Benar benar ulang tahun ke tujuh belas yang kampungan. Begitulah aku menuduh ayah. Aku marah sekali kepada ayah. “Apa apaan sih Yah!” teriakku marah. Sontak, ayah langsung menatapku. Ia kaget mendengar aku membentaknya.                 “Ayah hanya ingin memeriahkan pestamu sayang!” begitulah ayah beralasan tanpa bisa menyembunyikan perasaan bersalahnya. “Tapi tidak dengan cara seperti ini Ayah! Aku malu dengan semua teman temanku! Mereka semua jadi merasa terganggu dengan kehadiran teman teman Ayah!” Aku sama sekali tak menghiraukan perasaan ayahku saat itu. Aku hanya berpikir ayah telah merusak pestaku. “Maafkan ayah sayang!” Ayah memegang tanganku dengan penuh penyesalan. Ia sangat terluka, bukan karena aku marah kepadanya. Ia merasa  telah merusak kebahagiaan putri kesayangannya. Saat itu aku sama sekali tak pernah peduli dengan perasaan ayah. Yah……..menyesal memang datangnya belakangan. Aku begitu sedih mengenang kejadian itu. Aku memang tak tahu diri.               Semua kejadian itu selalu terulang dan terulang lagi setiap aku memperingati hari lahirku itu. Saat aku merasa malu terhadap apa yang ayah lakukan untukku.
            Kenangan buruk lainnya yang telah aku buat adalah saat aku berusia delapan belas tahun.  Aku masih duduk dibangku SMA. Sore itu aku sedang belajar kelompok bersama disalah satu rumah temanku. Sepulang dari  belajar itu, aku menumpang mobil dari salah satu temanku yang bernama Hendry. Saat melewati perempatan jalan menuju arah pulang kerumahku, aku melihat sosok yang sangat aku kenal. Mengayuh sepeda sambil membawa peralatan bengkel sejenis dongkrak mobil. Kelihatan berat sekali ia mengayuh sepedanya.   Aku melihatnya, ia ayahku.       Ia kumal dan kotor. Melihat didepan ada sebuah sepeda yang lamban sekali, Hendry membunyikan klakson mobilnya, tanda ia ingin mendahului sepeda ayah yang memang lamban itu. Tanpa ia ketahui bahwa orang yang mengayuh sepeda didepan mobilnya adalah ayahku. “Aduh lambat sekali sih orang itu!” teriaknya.  “Sudahlah Hen, sabar aja!” pintaku dengan dada yang berdebar. Entah kenapa aku begitu takut Hendry mengetahui kalau orang itu adalah ayahku. “Emang ini jalan nenek moyangnya?” teriak Hendry kembali. “Berat kali Hen bawaanya” Hendry menengok sesaat ke arahku. “Kamu kenal orang itu Win? Tetangga kamu?” Deg…..hatiku berdegup kencang, tak menyangka akan menerima pertanyaan semacam itu. Dan yang lebih parah aku berkata “Tidak!”. Hanya satu kata, tapi kata itu menggantung berat disudut bibirku. Hatiku terasa sakit sekali. Dalam hati sempat ku ucap “Maafkan aku ayah!” Tapi kata ingkar kalau aku tidak mengenal orang itu,  telah terucap. Tak mungkin ku tarik kembali.  Setelah turun dari mobil, segera aku masuk kedalam rumah. Sesenggukan aku menangis didalam kamar. Ayah menghampiriku, dipeluknya aku sambil diusapnya air mataku.”Sudah besar kok masih cengeng”  hanya itu yang keluar dari bibir ayah.  Selebihnya ayah hanya menatapku sambil tersenyum. Sedikitpun matanya tak mengandung tanya. Ia tetap ayah yang matanya selalu  penuh dengan kebanggaan memilikiku. Ayahpun tidak bertanya, kenapa aku menangis. Seolah ia memahami rasa malu yang aku miliki.  Sebenarnya saat itu, ingin aku meminta maaf atas kesalahanku terhadap ayah. Tapi aku tak pernah punya nyali untuk mengungkapkan kebenarannya. Aku takut penjelasanku hanya akan melukai perasaan ayah. Sampai saat ini aku tak pernah tahu apakah ayah mengerti dengan kejadian hari itu atau tidak. Namun sejak  hari itu akupun berubah, aku tidak malu  lagi menunjukkan siapa  ayahku. Bahkan aku sangat bangga, Tuhan memberi ayah serupa itu. Aku tak ingin ayah yang lain. Perasaan sayangku tumbuh menjamur didalam hatiku terhadap ayah dan ayah tahu itu. Akupun tak pernah mengungkit kisah penghianatanku itu sampai ayah berpulang ke rumah Bapa.  Pria pendiam itu telah tiada, namun aku yakin cintanya kepadaku serta kebanggaannya akan tetap disisiku seumur hidupku dan aku yakin ayah pasti akan memaafkan semua kesalahanku. Maafkan aku Ayah!
            Kini waktu telah berlalu begitu lama. Musim telah berubah, dan kehidupanpun berubah. Namun setiap kali aku mengingat kenangan tentang ayah, air mataku selalu mengalir. Kali ini bukan karena penyesalanku, tapi aku mengingat kasih sayang ayah yang tak tergantikan. Kasih sayang yang Tuhan berikan lewat ayah serupa anugerah yang mengalir dalam hidupku. Ayah memberiku sebuah kenangan yang indah seumur hidupku. Aku bangga memilikimu Ayah!

Jakarta, 28 Januari 2010. Jadi kenangan seperti apa yang ingin kau torehkan dalam hidupmu Teman? Semua pilihan ada ditanganmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar