Sabtu, 06 November 2010

KEJUTAN MENJELANG NATAL


Menjelang hari natal, biasanya suasana hati selalu indah. Tanah nampak basah. Udara nampak lembab. Angin menyelusup di sela-sela daun yang gugur. Awan sering kali kelabu dan matahari bersembunyi di baliknya. Hujan selalu rajin membasahi bumi mengiringi natal.  Jalanan kota menjadi basah. Terus-menerus basah. Juga jalan-jalan dan halaman rumah. Orang-orang bergegas menghindarinya. Genteng-genteng coklat di perumahan yang tumbuh merapat, berubah warna menjadi lebih tua dari biasanya.  Lonceng natal bergema dimana mana, mengusik setiap hati yang lara. Natal akan membuat setiap lara menjadi bahagia.
            Natal selalu mambawa tanda tersendiri terhadap bumi.  Bau rumput dan dedaunan basah di halaman serta di taman-taman kota. Itu merupakan kemewahan tersendiri dalam kehidupan metropolitan yang akrab dengan debu dan polusi. Tak ada alasan untuk tidak mencintai hari natal. Ketika bumi sejenak istirahat, dan hujan terasa lebih ramah. Matahari memang masih merekah, namun jarang sekali terlihat, karena awan lebih sering memonopoli langit.  Meski seringkali mendung, namun orang-orang juga berwajah lebih ramah daripada biasanya. Ada senyum di bibir. Di mata. Di hati. Ya, inilah hari natal. Selalu ada damai bertebaran dimana mana. Pada hari natal, langit boleh kelabu, tapi tidak hati. Ini hukum tak tertulis yang seharusnya diyakini setiap orang ketika hari yang  indah  itu datang. Seperti yang selama ini yakini oleh banyak orang secara tidak langsung. Begitulah suasana yang selalu akrab dengan hari natal.
            Tapi tidak kali ini.  Andini membenci natal kali ini, meski ia tahu bahwa hari ini merupakan tanda bahwa keselamatan telah datang melingkupi umat manusia. Ya, hatinya sedih pada natal kali ini, karena hantu dari masa silamnya itu telah datang. Kisah kelabu yang  telah tersimpan dipalung hatinya terdalam itu muncul kembali dan siap menerkamnya. Padahal ia telah lama berupaya menghapus bayangan itu agar lenyap dari hatinya. Upaya itu sia-sia belaka, sama sia-sianya mencoba merubah bubur menjadi nasi. Setiap orang pasti punya masa silam yang mungkin terlalu pahit untuk dikenangkan kembali. Andini percaya, selalu ada sebuah kamar rahasia didalam hati, tempat seseorang bisa menyimpan semua cerita dukanya, dan menguncinya rapat-rapat bila enggan berbagi dengan orang lain.  Apa kau pernah punya perasaan seperti itu teman? Kau tak menghendaki cerita rahasiamu itu tiba-tiba meluncur dari mulutmu. Dalam hati kau berharap waktu bisa menyembuhkan luka masa silammu. Tapi semua itu tidak mudah.  Karena waktu ternyata memiliki tempat untuk menyimpan setiap luka dan dukanya sendiri.
            Begitu juga Andini. Perempuan yang selalu nampak bahagia itu nyatanya menyimpan perih yang dalam terhadap masa lalunya. Sampai tak pernah  rahasia hatinya itu diungkapkan, meski terhadap suaminya sekalipun.  Perlahan, terbayang kembali di benaknya peristiwa beberapa hari lalu. Sore itu saat Andini sedang mengajari anaknya Via bersepeda di halaman, tanpa mereka sadari ada  seorang laki laki tua berdiri didepan halaman dan memperhatikan mereka.  Sejenak Andini melihat kedepan pintu pagar halaman rumahnya.Ia pangling. Namun, ia masih bisa mengenali lekuk-lekuk wajah lelaki tua itu yang tersimpan rapat-rapat di lubuk hatinya. Laki laki yang menyebabkan luka dalam hatinya. Laki laki yang melukis kenangan paling buruk dalam hidupnya. Rintik hujan gerimis yang datang tiba tiba, mempercepat terbukanya kembali luka-luka itu.
"Bapak?!" Suaranya terkesiap dan terkesan gamang.
Ah, alangkah cepat tahun-tahun berlari. Lebih 20 tahun sudah, semenjak terakhir ia bertemu dengan orang tua itu.
"Siapa, Din?" Bimo suaminya muncul dan berdiri di belakangnya, ikut menatap dengan pandangan bertanya kepada tamu yang datang tanpa diundang itu. Hening sesaat. Hanya suara gerimis yang asyik menari nari di atas genteng yang pucat coklat dan di antara daun-daun tanaman penghias dihalaman.                     Andini masih terkesima, tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu, dengan suara pelan, memperkenalkan dirinya kepada Bimo. Dengan cepat Bimo mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumah mereka.
            Begitulah, tiga hari berlalu semenjak kehadiran ayahnya yang begitu tiba-tiba di rumah mereka. Tiga hari yang meletihkan sekaligus menyakitkan. Karena Andini tanpa  diinginkannya,  terpaksa mengingat kembali luka-luka kehidupan masa silamnya. Ia harus mengakui dengan getir: semua ceritanya kepada Bimo dan keluarganya selama ini adalah dusta!
            Laki laki yang diakui Bapak oleh Andini itu kemudian tinggal dirumah mereka. Meskipun Andini tak pernah mengajaknya bicara, namun Bapaknya cukup paham, tak mudah bagi Andini memaafkan perbuatannya dimasa lalu. Sebagai suami, Bimo cukup tahu bahwa Andini sesungguhnya tak menghendaki kehadiran ayahnya sendiri dirumah mereka. Setelah tiga hari berlalu, terasa kehadiran orang tua itu telah merampas  semua kehangatan suasana yang tadinya selalu mewarnai rumah mereka menjelang datangnya hari natal. Ia tahu siapa sesungguhnya sumber penyebab perubahan itu. Bukan orang tua itu, tetapi Andini, istrinya sendiri.
            Maka malam itu Bimo menunggui istrinya dikamar dengan pandangan bertanya. Sorot matanya menuntut penjelasan. Ceritakan semuanya, Andini, ceritakan," pinta Bimo dengan lembut sambil memeluk istrinya.
            Andini memejamkan matanya. Kalau boleh memilih, ia justru ingin tetap bungkam dan mencoba mengubur kenangan masa silam itu. Wajahnya tampak berat. Alangkah sukarnya menghapus kenangan buruk itu. Andini  memandang wajah suaminya. Dari sorot mata Bimo, Andini tahu suaminya kali ini tidak ingin dibantah.  
            Masa kecil Andini sesungguhnya tidak terlalu buruk. Justru dia merasa masa kanak-kanaknya lebih berwarna dibandingkan anak-anak yang lain. Ia dapat menikmatinya secara wajar masa kanak kanaknya bersama  dengan teman-temannya. Andini juga cukup bangga dengan ayahnya yang hanya seorang sopir.  Namun mereka memiliki keluarga yang bahagia. Keadaan berubah menjelang Andini menamatkan sekolah dasar.                 
Menurut Andini,  sebenarnya ayahnya  adalah lelaki yang sangat baik. Sangat menyayangi keluarga. Mereka hidup sebagai sebuah keluarga yang harmonis. Namun Tuhan memiliki rencana yang lain terhadap kehidupan Andini. Masih pekat dalam ingatannya, bagaimana kecelakaan yang naas itu telah merenggut nyawa ibunya. Sejak itu langit nampak gelap dimata Andini dan juga ayahnya. Ayahnya jadi sering pulang dalam keadaan mabuk. Tidak ada yang memperhatikan Andini. Ayahnya terlalu frustasi menghadapi kematian ibunya. Ya, ayahnya telah kehilangan akal dan tak menyadari bahwa masih ada Andini yang memerlukan perhatiannya. Sampai pada puncak perasaan frustasinya, ayahnya meninggalkan begitu saja Andini disebuah panti asuhan. Andini tak akan pernah lupa bagaimana ayahnya yang tak peduli ketika ia menangis meraung raung memanggilnya. Ia tak mau tinggal dipanti asuhan. Setiap hari ia berharap ayahnya akan menjemputnya dan mereka bisa tinggal bersama kembali. Namun harapan Andini  tak pernah ada hasilnya, ayahnya tak kunjung datang menjemputnya. Sampai kemudian sebuah keluarga yang baik menjadikannya sebagai anak adopsi. Sejak itu dia berusaha melupakan semua masa lalunya termasuk ayahnya.
"Sayang, semua itu terjadi lebih 20 tahun yang lalu".
Bimo menyela cerita istrinya. Ia mencoba menghibur Andini yang berlinangan air mata ketika mulai menceritakan masa lalu keluarganya.  Andini terdiam sejenak dan membersihkan matanya yang berkabut. Batinnya membenarkan apa yang dikatakan Bimo.
"Aku sudah mencoba melupakannya, aku berusaha memaafkan dan mencoba memahami keadaan ayah saat itu, tapi ternyata tidak mudah melakukannya." Dengan penuh sayang  Bimo memandang istrinya yang tampak begitu kusut dan letih. Begitulah tragedi memang sebuah penyakit kehidupan yang pandai mengubah perjalanan hidup seseorang, juga sebuah keluarga. Dan sekaligus menghancurkannya.
"Kurasa sudah saatnya kau mengubur semua itu dan menata kembali hidupmu. Kau masih memiliki kami, aku dan anak-anak.  Jangan biarkan masa silam memerangkapmu," Bimo terus mencoba membesarkan hatinya. Dengan mata berkaca-kaca, Andini memandang suaminya tercinta. Suasana kamar tidur mereka mendadak senyap. Ia tahu tidak semudah itu. Apa yang terjadi pada keluarganya adalah tragedi. Seperti juga dialami banyak keluarga lain. Ia merasa lebih lega  setelah menceritakan masa lalunya kepada Bimo, suaminya.  Ya, sekaranglah saatnya menceritakan semuanya. Berbagi beban itu dengan suami dan keluarganya tercinta.
Waktu merambat pelan. Dengan takjub Bimo mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut istrinya. Diam-diam timbul kesadaran dalam dirinya: betapa selama ini ia tak cukup mengenal siapa istrinya, dan luka macam apa yang diderita dalam hati perempuan yang dicintainya itu. Ah, siapa menyangka masa silam istrinya begitu pahit.
            Bimo cukup bersyukur. Masa kanak-kanaknya jauh lebih beruntung daripada Andini. Ia tahu trauma semacam itu tentu akan membekas bertahun-tahun di benak seorang anak. Terukir seperti sebuah lukisan di dinding goa yang gelap.
” Sekarang berdamailah dengan dirimu sendiri. Kau pasti bisa melakukannya. Aku dan anak-anak akan mendukungmu sepenuhnya."  Sekali lagi Bimo memeluk istrinya.
            Hari ini gema lonceng natal bergema. Fajar mulai menampakkan dirinya di ufuk timur.  Sayup sayup nyanyian malam kudus berkumandang. Dunia mulai terbangun menyambut hadirnya hari yang indah ini.  Suasana ruang tamu dirumah Andini nampak sunyi.  Bapaknya yang sedang duduk diruang
tamu tampak terperanjat begitu menyadari kehadirannya.  Alangkah sulitnya bagi Andini untuk memulai percakapan di antara mereka. Awalnya, yang muncul hanyalah kalimat-kalimat pendek, percakapan yang tersendat-sendat mengenai hal-hal remeh. Sampai akhirnya justru orang tua itu yang lebih dulu menyinggung masa lalu mereka.
"Bapak sudah mencarimu kemana mana Andini. Bapak sudah hampir putus asa saat itu. Ternyata Bapak tidak bisa hidup sendiri. Dua puluh tahun Bapak hidup dalam kesepian dan keputus asaan”. Alangkah mengerikannya kesepian itu. Siapa yang mengira orang tua itu ternyata pernah mencarinya dipanti asuhan , namun terlambat. Andini telah diadopsi oleh keluarganya yang sekarang.
 Andini diam, berharap orang tua itu menyelesaikan kalimatnya.
"Bapak telah banyak melakukan kesalahan dalam hidup ini. Bapak tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untukmu.  Bapak tahu kamu pasti marah sama Bapak.  Sesungguhnya Bapak tidak pernah melupakanmu Andini. Maafkan Bapak!”
Mimpi paling buruk bagi orang tua itu adalah ketika anaknya tak mau mengakuinya. Kebekuan di hatinya mulai mencair seperti kotak eskrim terkena sinar matahari. Ia menangkap getar kepedihan dari suara bapaknya.
 "Bagaimana Bapak bisa tahu aku tinggal disini?” Sejenak orang tua itu terdiam. Suara burung menyapa pagi bergema di halaman.
"Bapak diberitahu oleh penjaga panti asuhan seminggu yang lalu. Mereka mengetahui alamatmu setelah kamu mengunjungi panti sebulan lalu. Kau tahu Andini? Bapak seperti melihat sebuah terang diantara semua kegelapan dalam kehidupan Bapak” Sampai disitu ayahnya tertunduk diam, menahan buliran air matanya yang jatuh. Andini dapat merasakan kehadiran embun di halaman, membuat batinnya ikut merasakan kesejukan. Mendadak ia terdiam, kehilangan kata-kata, masih terkesima dengan apa yang baru saja didengarnya.
            Entah apa yang menggerakkannya, tiba-tiba saja Andini menghampiri orang tua itu. Ia mencoba tersenyum dan menarik tangan orang tua itu ke dalam genggamannya. Tanpa kata. Andini tidak tahu, apakah sekarang ia sudah bisa memberi maaf sepenuhnya kepada orang tua itu. Namun, jika ada pertanyaan dari suaminya nanti, ia akan menjawab: ia telah siap terlahir kembali sebagai manusia baru yang mencoba berdamai dengan
diri dan masa silamnya sendiri. Dan Tuhan telah melakukannya di hari natal yang indah ini.

Jakarta 03 Desember 2009, Menyimpan masa lalu yang menyakitkan itu memang lebih mudah dari pada melupakanya. Tapi bersama Tuhan tak ada yang tak pernah bisa.














Tidak ada komentar:

Posting Komentar