Apa kau pernah berlari kawan? Berlari dari apa? Kenyataan hidup yang pahit, masalah yang rumit, atau kau sedang menghindari seseorang dalam hidupmu? Lalu kau pergi menjauh dari semuanya. Kau pikir semua masalah akan segera berakhir setelah kau pergi menghindarinya. Dan nyatanya masalah itu malah semakin merongrongmu. Pasti semuanya akan terasa berat dipundakmu. Meskipun kau sudah menjauhi semua, masalah akan terus mengikutimu. Kau tak pernah akan bisa berhenti, karena semua itu akan terus memburumu. Lalu apakah lebih baik kau tak lari? Atau menghadapi masalah itu dengan kepasrahan? Hmm………entahlah kawan! Bagaimana aku harus menjawabnya, karena aku sendiri pernah menghindari semua kemelut hidup ini. Bahkan sampai sekarang saja, aku sedang melarikan diri. Aku memang tak pernah punya nyali untuk pasrah menghadapi masalahku. Aku lebih memilih untuk menjadi pengecut dan menghindari semua masalah yang mililit hidupku.
Begitulah diriku kawan, sekarang aku hanyalah seorang buronan. Hidup dikejar kejar oleh sebuah tuntutan. Hingga akhirnya membuatku berlari ke jakarta , kota yang selalu sibuk dengan urusan duniawinya ini. Disini akupun tak pernah merasa tenang. Memang tak seutuhnya jiwaku resah, tapi hidupkupun tak pernah merasa nyaman. Seharusnya aku sadar Jakarta tak pernah mampu memberiku kebahagiaan yang lebih, juga kehidupan sempurna. Jakarta memang memberiku materi yang berlimpah, tapi yang lebih banyak justru kesepian yang sangat. Begitulah…..aku memang hanya perantauan di sini. Aku hanya ingin berlari dari kemiskinan hidup ini. Kemiskinan serupa kanker yang tak pernah lelah menggerogoti tubuhku. Ah, kemiskinan, lagi lagi kemiskinan…………..kenapa ia selalu ramah untuk singgah dan akrab dalam keseharianku?
Perlahan aku mengingat saat kepergianku setahun silam, mengingat berbagai persoalan hidup yang menjeratku. Aku sadar, aku memang yang paling bersalah dengan kepergianku ke Jakarta ini. Namun semua ini aku lakukan, karena aku sudah teramat lelah didera oleh kemiskinan. Aku sengaja melakukannya, supaya aku tak ikut terperosok dalam kemiskinan yang telah berpuluh puluh tahun menjerat keluargaku. Melihat orang tuaku membanting tulang untuk sekedar bisa makan, hatiku teriris iris. Kemiskinan itulah yang seringkali membuat aku putus asa, bahkan enggan untuk membuka jendela kamar, meski hanya untuk menyambut matahari pagi. Jadi kawan, apakah kau tak akan berpihak denganku, seandainya aku ceritakan masalahku?
Sejak aku tumbuh menjadi gadis remaja, aku sengaja menjalin hubungan dengan para lelaki kaya yang dengan mudah menghambur hamburkan uangnya. Supaya aku bisa ikut menikmati kekayaannya dengan memberikan cinta semu kepada laki laki yang kuanggap bodoh itu. Sungguh tujuanku hanya itu, tak ada niat yang lain. Sampai pada akhirnya akupun terjerumus pada kisah cinta yang terlarang. Salah satu dari laki laki yang dekat denganku itu ternyata telah memiliki istri. Hingga suatu hari istri laki laki yang aku kencani itu akhirnya mencium hubungan kami. Istrinya datang kerumahku, mencariku. Dia begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau dengan wajah yang menarik, benar -benar membuatku merasa rendah dan tidak ada artinya. Dia mencaci maki dan menghardik aku “ Aku tahu hubunganmu dengan suamiku, seharusnya pelacur sepertimu tahu diri dan tidak mengganggu suami orang!”

Katanya lagi dengan nada yang sangat sinis. Wajahku terasa panas, air mataku hampir tumpah, tapi aku berusaha menahannya. Aku tahu, aku yang bersalah telah mengganggu rumah tangga orang lain, tapi sungguh aku tak bermaksud demikian. Aku tak pernah tahu laki laki itu telah memiliki istri. Meskipun aku hanya seorang wanita materialistis, aku sangat tahu diri dan tak mungkin aku merusak keluarga orang lain. Kedua orang tuaku menggigil ketakutan melihat perempuan yang merasa suci itu mencaci maki aku dengan kemarahan yang meledak ledak. Pelacur! Yah….aku memang tak ada bedanya dengan pelacur. Jadi pantas kalau perempuan itu menyebut nyebutku pelacur. Para tetanggakupun langsung menatap sinis kepadaku, mereka semua berkerumun didepan rumahku. Seolah sedang menonton sebuah drama satu babak tentang perempuan murahan yang mengganggu suami orang. Tak ada yang berpihak kepadaku, semua menudingku bersalah. Orang tuakupun tak berpihak kepadaku. Ayahku bahkan menamparku berulang kali didepan perempuan itu. Meskipun miskin orang tuaku tak pernah lalai mengajarkanku tentang agama dan etika moral yang seharusnya aku lakukan. Aku sendirilah yang sengaja membuat hati nuraniku kebal rasa, hingga tak sedikitpun aku melakukan apa yang orang tuaku ajarkan kepadaku. Lagi lagi kemiskinanlah yang selalu menjadi alasanku. Perempuan itu masih terus mengeluarkan kalimat kalimat hinaan terhadap keluargaku. Kata katanya tajam merobek hatiku, hingga hatiku hancur berkeping keping. Kesedihan mendalam itu sampai tak mampu membuatku berurai air mata. Hatiku terlampau sakit. Lebih sakit dari penyakit miskin yang sering kali menindasku. Pada akhirnya drama itupun berakhir memilukan. Tak cukup mencaci maki aku, perempuan itupun memaki kedua orang tuaku yang tak tahu apa apa. Belum cukup sampai disitu, perempuan itu melempar muka kedua orang tuaku dengan lembar ribuan yang entah berapa jumlahnya sambil mengumpat “Makan ini! Dasar orang tua tidak becus mendidik anak!” Tak sepatah katapun keluar dari bibirku. Lidahku terasa kelu, tak tahu harus berbuat apa dengan hinaan serupa itu. Sejak hari itu berakhir, akupun memutuskan untuk pergi. Aku terpaksa meninggalkan ayah dan ibuku. Apa boleh buat. Aku tidak tega melihat ayah dan ibuku diperlakukan tidak adil karena perbuatanku. Aku tidak akan sanggup melihat kesemena-menaan itu berlangsung. Selain itu, aku berjanji kepada diriku sendiri, aku tak akan pernah pulang sebelum bisa membawa kebahagiaan pada mereka. Rasa bersalah yang 
menumpuk itulah yang membuatku pergi. Aku tak tahan melihat penderitaan mereka. Begitulah kisahku kawan, kenapa aku bisa berada di kota metropolis ini.


Namun akhir akhir ini rinduku pada tanah kelahiranku itu semakin mengental. Tapi aku tetap tak berani pulang. Padahal penyakit rindu telah menggerogoti jiwaku. Rindu pada sanakku, rindu pada ayahku, terlebih pada keteduhan wajah ibu. Hingga berhari-hari, bahkan sampai melewatkan minggu serta bulan, semakin pekatlah rinduku kepada mereka. Dan semakin membaralah rasa bersalahku. “Pulanglah bila kau merasa mereka adalah bagian dari hidupmu.” Begitulah bisik batinku. Kuhimpun beribu kekuatan untuk mengajak hatiku pulang. Aku telah berusaha berdamai dengan hatiku, supaya bisa kulihat tempat dimana tangis pertamaku itu terdengar. Namun aku tak pernah mampu melakukannya. Semakin hari perasaan kangenku tumbuh merayap didalam benak. Rasa malu lebih dominan menguasaiku. Nyaliku ciut untuk sekedar menghubungi mereka. Ah, mengapa perasaan galau datang seperti hendak membunuhku? Aku begitu takut. Takut untuk sekedar menulis surat dan mengirimkan kepada orang tuaku. Aku takut luka mereka belum sembuh akibat perbuatanku. Ini entah hari keberapa aku kembali termangu-mangu di depan meja untuk menulis surat kepada mereka. Dan hasilnya hanya kalimat pendek bersiratkan kerinduan mendalam yang berhasil aku tulis. “Aku cinta Ibu, aku merindukan mu Ibu. Apakah ayah baik baik saja Ibu? Aku ingin pulang!”. Setiap aku baca kembali kalimat yang tak pernah bersambung itu, air matakupun mengalir tanpa bisa aku bendung lagi. Aku tak berdaya. Aku telah berjanji, aku baru akan pulang setelah bisa membawa sesuatu buat mereka. Tapi sekarang, belum! Aku terpaksa mengubur seluruh kangen dan kerinduan yang amat sangat ini.
Begitulah kawan, setahun telah berlalu dari pelarianku, namun aku tak pernah mendapatkan apapun juga. Damai, ketenangan bahkan kebahagiaan, tak pernah sekejabpun mendekat. Aku terus diburu oleh masalahku. Aku seperti berada di tengah perang yang berkecamuk. Perih. Mungkin kau bertanya kawan! Kemana Tuhan yang selalu ada untukku itu? Aku sendiri yang menjauh kawan. Yah……..saat seperti itu, tak pernah sedetikpun kuingat Penciptaku. Tak pernah kuminta belas kasihanNYA. Hanya keluhanlah yang selalu kusampaikan kepadaNYA. Aku bahkan pernah membenci waktu, juga keadaan, hingga aku pun pernah hampir tergelincir membenci Tuhan. Karena aku merasa betapa Tuhan telah membedakan hidupku dengan orang lain. Aku sangat iri dengan orang-orang yang mengaku suci itu. Betapa kemakmuran selalu menemani mereka. Berkelimpahan dan tak pernah kekurangan, padahal mereka juga tak beriman. Saat itu aku terus berpikir untuk menghakimi mereka. Aku benci orang orang kaya yang sombong itu. Aku tetap tak berdaya. Keresahan memang telah menang atasku. Kegelisahan berhasil mengelilingiku. Kesulitan hidup semakin memburuku. Aku terpidana dalam rancangan jahat si musuh. Menahan semua kepenatan hidup ini sendiri. Tak nyaman hidup sepertiku kawan! Meski aku telah berjuang untuk menang atas masalahku, namun tetap kehampaanlah yang ada dihatiku.
Jadi kawan…….. jangan pernah mengambil langkah sepertiku. Masalah itu tak akan pernah hilang, meski kita menghindar. Ia akan tetap memburumu, kemanapun engkau berlari. Aku masih beruntung kawan, Allah yang penuh kasih itu tak lupa menegurku. Tak dibiarkannya aku terpuruk lebih dalam. Dia mengerti setiap hal yang aku rasakan. DIApun melepaskanku dari masalah yang melilitku, seperti seutas tali yang selalu siap memburuku. Aku memang berhasil menjauhi keadaan hidupku, namun aku tak pernah bisa berlari dariNYA. Mungkin sekarang aku belum benar benar terlepas dari keterpurukan hidupku, namun aku yakin, Allah yang penuh kasih itu telah melakukannya untukku. Hingga diberinya aku damai yang luar biasa ditengah kegalauanku. Kawan……apa kau juga sedang menghadapi masalah seperti yang aku rasakan? Datanglah kepadaNYA, DIA tak akan sedikitpun berpaling darimu. DIA pasti juga sangat mengerti hidupmu kawan, betapapun rumitnya itu.
Jakarta, 05 Januari 2010
“ Kemanakah aku dapat pergi menjauhi roh-Mu, kemana aku dapat lari dari hadapan-Mu ? …di sana tangan-Mu akan menuntun aku, dan tangan kanan-Mu memegang aku ”.
Mazmur 139 : 7 dan 10`
Tidak ada komentar:
Posting Komentar