Sabtu, 06 November 2010

PEREMPUAN DIANTARA GERIMIS


Selama ini tanpa kita sadari, banyak        sekali yang Tuhan telah lakukan dalam kehidupan kita. Melalui kasihnya yang luar biasa Dia selalu menuntun kita melewati kesulitan hidup ini. Namun kadang kita kurang menghargai pengorbananNya. Kita  seolah lupa dengan apa yang terjadi dan bagaimana Allah telah mengubah hidup kita menjadi luar biasa lewat keajaiban-keajaiban kecil yang jarang sekali kita sadari telah terjadi dalam hidup kita.
Dia memberi kita kehidupan, Dia menyediakan semua yang kita butuhkan. Harusnya kita selalu bersyukur dan belajar banyak hal dari sisi kehidupan orang lain juga, ketika kita mulai mengeluh. Karena sebenarnya begitu banyak  orang-orang yang lebih menderita dibandingkan dengan kita. Banyak orang orang terluka yang lebih menderita disekitar kita. Aku ingin kau tahu Teman, Tuhan menciptakan kita bukan tanpa rencana. Dia selalu memiliki rencana yang luar biasa terhadap semua yang telah diciptakanNya.
Suatu kali sepulang dari ibadah gereja,  aku melihat seorang perempuan  yang cacat kakinya sedang berjalan tertatih-tatih diantara hujan gerimis. Kakinya mengecil pada betis nya, sehingga ia memerlukan tongkat penopang untuk  berjalan. Malam yang dingin  itu aku  pulang bersama temanku, Alisa dengan mengendarai sebuah mobil. Keadaan dijalan memang benar-benar tidak begitu baik, selain udaranya begitu dingin, gerimispun seolah tidak mau bersahabat dengan malam. Perempuan itu sepertinya sama sekali tak menghiraukan gerimis yang mulai membasahi tubuhnya. Ia berjalan sendiri tertatih tatih sambil membawa tasnya. Ada kelebat sedih yang tiba tiba menghampiri hatiku saat melihatnya. Bukan hanya aku, mungkin kau juga akan merasakan perasaan yang sama saat melihatnya Teman! Sebuah pemandangan yang mengharukan hati.
Sang penguasa bumi itu sepertinya sengaja membuat skenario yang memiliki mata rantai malam itu. Sangat kompak dengan apa yang diajarkan oleh Bapak pendetaku di gereja. Firman Tuhan sekaligus satu paket dengan apa yang harus aku praktekan. Firman Tuhan hari itu mengingatkan kita untuk selalu melihat keadaan saudara-saudara seiman kita yang kurang  beruntung dan kita  belajar memberkati kehidupan mereka lewat hidup kita. Ketika aku melihat  wanita yang cacat kakinya itu, aku langsung berpikir  “ Pas banget sih sama firman Tuhan hari ini!”  Aku menengok kearah Alisa sambil tersenyum                      “ Hari ini Tuhan memberikan kita teori plus dengan prakteknya Lis!  Kita harus menolongnya,  tapi bukan karena firman Tuhan hari ini khan?” kataku kemudian. “ Ya nggaklah, kita memang harus menolongnya” jawab Alisa.  Aku menghentikan mobil yang sedang aku kendarai disamping perempuan itu perlahan. Aku turun dan menawarinya tumpangan. Ia memandangku penuh tanya. Aku tersenyum, sekali lagi kuulangi niatku. ”Maaf Kak, mau ikutan yuk! Aku bisa mengantarkan Kakak sampai tujuan”.   Agak terkejut juga ia menolak tawaranku. Tapi setelah aku meyakinkannya, akhirnya ia setuju untuk kami antarkan pulang.
Dengan bersusah payah aku dan Alisa berusaha membantunya naik kedalam mobil, karena memang kakinya sudah cacat kedua-duanya. Ia berjalan menggunakan alat penyangga dikedua kakinya, dengan menggunakan bantuan tangannya ia berjalan. Setelah berhasil masuk kedalam mobil, Alisa mulai menginterograsinya seperti layaknya seorang polisi. ”
 ” Namaku Alisa, siapa nama Kakak?”
Kami memanggilnya Kakak, karena memang ia terlihat lebih tua dari kami berdua. 
” Heni” Jawabnya lirih
”Kakak tinggal dimana?”
”Nggak usah panggil kakak lah, panggil aja Heni!” rupanya ia tak mau dipanggil kakak. Diam diam aku tersenyum sendiri sambil memperhatikan lalu lintas didepan. Hm........ tak semua orang bisa menerima kenyataan bahwa dirinya memang telah dimakan usia. Alisapun langsung setuju meralat kalimatnya.
”Jadi Heni tinggal dimana?”
”Aku ikut kalian aja, asal searah dengan kalian, aku akan turun”. Begitulah jawabnya.
”Bukan begitu Hen, kita mau mengantarkanmu pulang sampai rumahmu”.
”Nggak usah! Aku turun didepan pasar kopro aja”. Pintanya
Pasar kopro itu adalah pasar yang ada di daerah Tanjung Duren Jakarta Barat.
”Ini masih hujan  Hen! Nanti kamu bisa sakit”. Alisa berusaha untuk membujuknya.
”Aku sudah biasa kok!” Ia menjawab tanpa peduli dengan bujukan Alisa.
”Kita nggak papa kok Hen antar kamu pulang sampai rumah!” Sahutku, menambahkan bujukan Alisa. Perempuan bernama Heni itu diam tak menjawab, tapi juga tidak  menolak niatku mengantarkan pulang. Tiba tiba ia mengatakan sebuah kalimat yang cukup mengejutkanku dan Alisa.
 ”Alangkah bahagianya hidup seperti kalian ya?”
”Apa kita terlihat seperti itu Hen?” Alisa menjawab pertanyaan Heni dengan heran.
”Tentu saja! Punya keluarga, punya kehidupan yang menyenangkan”. Heni kembali berbicara tanpa menoleh ke arah Alisa. Seolah ia memang sedang bicara pada dirinya sendiri.
”Kau juga pasti punya orang tua khan?”  Alisa  balik bertanya.
”Aku tidak punya orang tua, mereka sudah meninggal sejak aku masih kecil”. Kali ini ia menjawab sambil memandang Alisa. Aku terkejut mendengar jawaban Heni. Kemudian hampir bersamaan aku dan Alisapun bertanya, sampai perempuan bernama Heni itupun seperti bingung melihat kami yang begitu antusias.  ” Lalu kau tinggal dengan siapa?”
”Aku tinggal sendiri ditempat kos, aku sebatang kara”. Jawabnya lirih.  Sebuah jawaban yang cukup menyentuh hatiku juga hati Alisa. Ia tinggal sendiri dan tak bersama dengan siapa siapa. Kedua orang tuanya telah meninggal.  Entah bagaimana, mungkin  ia sudah merasa nyaman dengan obrolan kita, ia menceritakan seluruh kehidupannya, ia merasa Tuhan itu tidak adil, kenapa ia yang cacat, kedua orang tuanyapun secepat itu meninggal. ” Kadang aku berpikir, untuk apa Tuhan menciptakan aku?”. Ia mengakhiri ceritanya.  Aku dan Alisa mendengarkan cerita Heni dengan  perasaan yang campur aduk. Tak menyangka akan dipertemukan dengan Heni dalam situasi seperti itu.  Aku mulai merenungkan cerita Heni sambil tetap mengarahkan pandanganku pada lalu lintas didepan. Aku pikir “ kasihan juga, kenapa ada kehidupan seperti ini ya?”. Tiba tiba sekeranjang kesedihan menghampiriku. Alangkah sempurnanya hidup yang kumiliki. Punya keluarga yang bahagia. Tubuh yang sempurna tanpa cacat. Pekerjaan yang mapan. Sama sekali tak ada yang kurang dari hidupku, bila  dibandingkan dengan kehidupan Heni perempuan yang menumpang dimobilku itu. Aku dan Alisa masih bungkam setelah mendengarkan kisah perempuan   bernama Heni itu. Sejenak kemudian Alisapun menasehatinya         “ Tuhan pasti punya maksud buat hidupmu, Tuhan sangat adil kok, hidupmu pasti akan luar biasa, kalau  kau tetap berpegang pada janji Tuhan”  ”Iya Hen, kita harus selalu bersyukur dalam setiap keadaan yang Tuhan lewatkan dalam kehidupan kita”. Aku turut menambahkan nasehat Alisa untuk memberinya kekuatan. Padahal dalam hati akupun juga berpikir  “ Dimana letak keadilan Tuhan kalau begini ya?”. Untuk mempertahankan hidupnya, ia menjual beberapa macam merk kosmetik dari teman yang satu keteman yang lain. Hanya itu pekerjaannya, selebihnya ia  mendapatkan belas kasian dari orang orang yang ada disekitarnya. Begitulah sedikit cerita yang Heni sampaikan kepada kami.  Sebenarnya masih banyak yang ingin aku tahu dari kehidupan Heni. Namun perjalanan telah sampai pada tujuan. Akhirnya kita sampai pada sebuah rumah kos yang tak mewah. Sebuah jalan sempit dibelakang pasar kopro.
Dalam perjalanan pulang setelah itu, aku mulai membahas kejadian yang baru aku lihat dan alami itu  dengan Alisa.               “ Kita masih jauh lebih bersyukur dibandingkan Heni ya?” kata ku membuka pembicaraan dengan Alisa.  “ Jadi malam ini kamu bisa ambil sesuatu pelajaran lewat hidupnya?” Sahut Alisa.                  “ Yach begitulah, kadang kita tidak menyadari keberuntungan kita, padahal masih banyak orang-orang yang lebih menderita dari kita!” Jawabku, yang lebih aku tujukan pada diriku sendiri. ”Kau pikir nggak Lis, bagaimana kalau ia sakit? Siapa yang akan merawatnya?”                                                                                       ”Iya ya.... kadang apa yang Tuhan kerjakan itu benar benar tidak bisa kita terima secara logika, tapi begitulah Tuhan, selalu punya cara yang unik terhadap semua ciptaannya”. Alisa menimpali omonganku. Kami berdua pulang dengan hati yang masih penuh tanya terhadap semua keajaiban yang Tuhan kerjakan dibumi ini.
Setelah pulang, aku mencoba merenungkan kejadian yang baru aku alami itu. Hatiku benar-benar tersentuh melihat perempuan cacat bernama Heni. Aku sangat bersyukur Tuhan mempertemukanku dengannya. Aku lebih bisa memahami keadaan hidupku. Aku dapat belajar sesuatu tentang bagaimana setiap orang itu diberi potensi oleh Tuhan untuk memberkati orang lain lewat kehidupannya.
Mungkin menurut Heni, perempuan  yang cacat kakinya tersebut,  Tuhan itu tidak adil dengan kehidupannya. Tapi justru Tuhan memakai kekurangannya untuk menyentuh dan memberkati orang lain.  Tanpa sadar sebenarnya Tuhan telah memakai hidupnya untuk menyadarkan orang-orang yang kurang bisa mensyukuri kehidupannya. Sejak kejadian itu, aku belajar lebih lagi untuk bersyukur terhadap hal-hal terkecil sekalipun yang sudah Tuhan lewatkan dalam hidupku. Kalau orang yang cacat aja bisa menyentuh kehidupan orang lain, kenapa kita yang Tuhan beri kesempurnaan, tidak bisa melakukan hal yang lebih dari itu?.
Begitu banyak yang membuat kita selalu merasa tidak puas dalam hidup ini. Namun ketika kita tahu ”The meaning of life ”  (Arti hidup ini), kita pasti tak akan pernah bertanya lagi ”Untuk apa Tuhan menciptakan aku,  kalau hidupku seperti ini?” Hidup adalah sebuah hadiah dari Tuhan Teman!. Jadi mau          kita apakan hadiah dari Tuhan itu? Kaulah yang harus memperjuangkan sendiri hidupmu.

Jakarta,  Februari 2006. Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

SENYUM


Aku suka sekali melihat setiap orang tersenyum
Senyum adalah perbuatan baik
Senyum membuat orang lain merasa senang
Bagiku lebih mudah untuk tersenyum                        
dari pada merengut
Senyum menunjukkan sikap yang baik
Itu artinya kita sedang merasa nyaman dan senang
Mengetahui bahwa Tuhan selalu bersama kita
adalah hal yang dapat membuat kita selalu tersenyum
Marilah kita mengingat hal-hal dalam hidup ini
yang dapat membuat kita tersenyum

“ Hati yang gembira membuat muka berseri-seri, tetapi kepedihan hati mematahkan semangat “
Amsal 15 :13

KEJUTAN MENJELANG NATAL


Menjelang hari natal, biasanya suasana hati selalu indah. Tanah nampak basah. Udara nampak lembab. Angin menyelusup di sela-sela daun yang gugur. Awan sering kali kelabu dan matahari bersembunyi di baliknya. Hujan selalu rajin membasahi bumi mengiringi natal.  Jalanan kota menjadi basah. Terus-menerus basah. Juga jalan-jalan dan halaman rumah. Orang-orang bergegas menghindarinya. Genteng-genteng coklat di perumahan yang tumbuh merapat, berubah warna menjadi lebih tua dari biasanya.  Lonceng natal bergema dimana mana, mengusik setiap hati yang lara. Natal akan membuat setiap lara menjadi bahagia.
            Natal selalu mambawa tanda tersendiri terhadap bumi.  Bau rumput dan dedaunan basah di halaman serta di taman-taman kota. Itu merupakan kemewahan tersendiri dalam kehidupan metropolitan yang akrab dengan debu dan polusi. Tak ada alasan untuk tidak mencintai hari natal. Ketika bumi sejenak istirahat, dan hujan terasa lebih ramah. Matahari memang masih merekah, namun jarang sekali terlihat, karena awan lebih sering memonopoli langit.  Meski seringkali mendung, namun orang-orang juga berwajah lebih ramah daripada biasanya. Ada senyum di bibir. Di mata. Di hati. Ya, inilah hari natal. Selalu ada damai bertebaran dimana mana. Pada hari natal, langit boleh kelabu, tapi tidak hati. Ini hukum tak tertulis yang seharusnya diyakini setiap orang ketika hari yang  indah  itu datang. Seperti yang selama ini yakini oleh banyak orang secara tidak langsung. Begitulah suasana yang selalu akrab dengan hari natal.
            Tapi tidak kali ini.  Andini membenci natal kali ini, meski ia tahu bahwa hari ini merupakan tanda bahwa keselamatan telah datang melingkupi umat manusia. Ya, hatinya sedih pada natal kali ini, karena hantu dari masa silamnya itu telah datang. Kisah kelabu yang  telah tersimpan dipalung hatinya terdalam itu muncul kembali dan siap menerkamnya. Padahal ia telah lama berupaya menghapus bayangan itu agar lenyap dari hatinya. Upaya itu sia-sia belaka, sama sia-sianya mencoba merubah bubur menjadi nasi. Setiap orang pasti punya masa silam yang mungkin terlalu pahit untuk dikenangkan kembali. Andini percaya, selalu ada sebuah kamar rahasia didalam hati, tempat seseorang bisa menyimpan semua cerita dukanya, dan menguncinya rapat-rapat bila enggan berbagi dengan orang lain.  Apa kau pernah punya perasaan seperti itu teman? Kau tak menghendaki cerita rahasiamu itu tiba-tiba meluncur dari mulutmu. Dalam hati kau berharap waktu bisa menyembuhkan luka masa silammu. Tapi semua itu tidak mudah.  Karena waktu ternyata memiliki tempat untuk menyimpan setiap luka dan dukanya sendiri.
            Begitu juga Andini. Perempuan yang selalu nampak bahagia itu nyatanya menyimpan perih yang dalam terhadap masa lalunya. Sampai tak pernah  rahasia hatinya itu diungkapkan, meski terhadap suaminya sekalipun.  Perlahan, terbayang kembali di benaknya peristiwa beberapa hari lalu. Sore itu saat Andini sedang mengajari anaknya Via bersepeda di halaman, tanpa mereka sadari ada  seorang laki laki tua berdiri didepan halaman dan memperhatikan mereka.  Sejenak Andini melihat kedepan pintu pagar halaman rumahnya.Ia pangling. Namun, ia masih bisa mengenali lekuk-lekuk wajah lelaki tua itu yang tersimpan rapat-rapat di lubuk hatinya. Laki laki yang menyebabkan luka dalam hatinya. Laki laki yang melukis kenangan paling buruk dalam hidupnya. Rintik hujan gerimis yang datang tiba tiba, mempercepat terbukanya kembali luka-luka itu.
"Bapak?!" Suaranya terkesiap dan terkesan gamang.
Ah, alangkah cepat tahun-tahun berlari. Lebih 20 tahun sudah, semenjak terakhir ia bertemu dengan orang tua itu.
"Siapa, Din?" Bimo suaminya muncul dan berdiri di belakangnya, ikut menatap dengan pandangan bertanya kepada tamu yang datang tanpa diundang itu. Hening sesaat. Hanya suara gerimis yang asyik menari nari di atas genteng yang pucat coklat dan di antara daun-daun tanaman penghias dihalaman.                     Andini masih terkesima, tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu, dengan suara pelan, memperkenalkan dirinya kepada Bimo. Dengan cepat Bimo mempersilahkan orang tua itu masuk ke rumah mereka.
            Begitulah, tiga hari berlalu semenjak kehadiran ayahnya yang begitu tiba-tiba di rumah mereka. Tiga hari yang meletihkan sekaligus menyakitkan. Karena Andini tanpa  diinginkannya,  terpaksa mengingat kembali luka-luka kehidupan masa silamnya. Ia harus mengakui dengan getir: semua ceritanya kepada Bimo dan keluarganya selama ini adalah dusta!
            Laki laki yang diakui Bapak oleh Andini itu kemudian tinggal dirumah mereka. Meskipun Andini tak pernah mengajaknya bicara, namun Bapaknya cukup paham, tak mudah bagi Andini memaafkan perbuatannya dimasa lalu. Sebagai suami, Bimo cukup tahu bahwa Andini sesungguhnya tak menghendaki kehadiran ayahnya sendiri dirumah mereka. Setelah tiga hari berlalu, terasa kehadiran orang tua itu telah merampas  semua kehangatan suasana yang tadinya selalu mewarnai rumah mereka menjelang datangnya hari natal. Ia tahu siapa sesungguhnya sumber penyebab perubahan itu. Bukan orang tua itu, tetapi Andini, istrinya sendiri.
            Maka malam itu Bimo menunggui istrinya dikamar dengan pandangan bertanya. Sorot matanya menuntut penjelasan. Ceritakan semuanya, Andini, ceritakan," pinta Bimo dengan lembut sambil memeluk istrinya.
            Andini memejamkan matanya. Kalau boleh memilih, ia justru ingin tetap bungkam dan mencoba mengubur kenangan masa silam itu. Wajahnya tampak berat. Alangkah sukarnya menghapus kenangan buruk itu. Andini  memandang wajah suaminya. Dari sorot mata Bimo, Andini tahu suaminya kali ini tidak ingin dibantah.  
            Masa kecil Andini sesungguhnya tidak terlalu buruk. Justru dia merasa masa kanak-kanaknya lebih berwarna dibandingkan anak-anak yang lain. Ia dapat menikmatinya secara wajar masa kanak kanaknya bersama  dengan teman-temannya. Andini juga cukup bangga dengan ayahnya yang hanya seorang sopir.  Namun mereka memiliki keluarga yang bahagia. Keadaan berubah menjelang Andini menamatkan sekolah dasar.                 
Menurut Andini,  sebenarnya ayahnya  adalah lelaki yang sangat baik. Sangat menyayangi keluarga. Mereka hidup sebagai sebuah keluarga yang harmonis. Namun Tuhan memiliki rencana yang lain terhadap kehidupan Andini. Masih pekat dalam ingatannya, bagaimana kecelakaan yang naas itu telah merenggut nyawa ibunya. Sejak itu langit nampak gelap dimata Andini dan juga ayahnya. Ayahnya jadi sering pulang dalam keadaan mabuk. Tidak ada yang memperhatikan Andini. Ayahnya terlalu frustasi menghadapi kematian ibunya. Ya, ayahnya telah kehilangan akal dan tak menyadari bahwa masih ada Andini yang memerlukan perhatiannya. Sampai pada puncak perasaan frustasinya, ayahnya meninggalkan begitu saja Andini disebuah panti asuhan. Andini tak akan pernah lupa bagaimana ayahnya yang tak peduli ketika ia menangis meraung raung memanggilnya. Ia tak mau tinggal dipanti asuhan. Setiap hari ia berharap ayahnya akan menjemputnya dan mereka bisa tinggal bersama kembali. Namun harapan Andini  tak pernah ada hasilnya, ayahnya tak kunjung datang menjemputnya. Sampai kemudian sebuah keluarga yang baik menjadikannya sebagai anak adopsi. Sejak itu dia berusaha melupakan semua masa lalunya termasuk ayahnya.
"Sayang, semua itu terjadi lebih 20 tahun yang lalu".
Bimo menyela cerita istrinya. Ia mencoba menghibur Andini yang berlinangan air mata ketika mulai menceritakan masa lalu keluarganya.  Andini terdiam sejenak dan membersihkan matanya yang berkabut. Batinnya membenarkan apa yang dikatakan Bimo.
"Aku sudah mencoba melupakannya, aku berusaha memaafkan dan mencoba memahami keadaan ayah saat itu, tapi ternyata tidak mudah melakukannya." Dengan penuh sayang  Bimo memandang istrinya yang tampak begitu kusut dan letih. Begitulah tragedi memang sebuah penyakit kehidupan yang pandai mengubah perjalanan hidup seseorang, juga sebuah keluarga. Dan sekaligus menghancurkannya.
"Kurasa sudah saatnya kau mengubur semua itu dan menata kembali hidupmu. Kau masih memiliki kami, aku dan anak-anak.  Jangan biarkan masa silam memerangkapmu," Bimo terus mencoba membesarkan hatinya. Dengan mata berkaca-kaca, Andini memandang suaminya tercinta. Suasana kamar tidur mereka mendadak senyap. Ia tahu tidak semudah itu. Apa yang terjadi pada keluarganya adalah tragedi. Seperti juga dialami banyak keluarga lain. Ia merasa lebih lega  setelah menceritakan masa lalunya kepada Bimo, suaminya.  Ya, sekaranglah saatnya menceritakan semuanya. Berbagi beban itu dengan suami dan keluarganya tercinta.
Waktu merambat pelan. Dengan takjub Bimo mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut istrinya. Diam-diam timbul kesadaran dalam dirinya: betapa selama ini ia tak cukup mengenal siapa istrinya, dan luka macam apa yang diderita dalam hati perempuan yang dicintainya itu. Ah, siapa menyangka masa silam istrinya begitu pahit.
            Bimo cukup bersyukur. Masa kanak-kanaknya jauh lebih beruntung daripada Andini. Ia tahu trauma semacam itu tentu akan membekas bertahun-tahun di benak seorang anak. Terukir seperti sebuah lukisan di dinding goa yang gelap.
” Sekarang berdamailah dengan dirimu sendiri. Kau pasti bisa melakukannya. Aku dan anak-anak akan mendukungmu sepenuhnya."  Sekali lagi Bimo memeluk istrinya.
            Hari ini gema lonceng natal bergema. Fajar mulai menampakkan dirinya di ufuk timur.  Sayup sayup nyanyian malam kudus berkumandang. Dunia mulai terbangun menyambut hadirnya hari yang indah ini.  Suasana ruang tamu dirumah Andini nampak sunyi.  Bapaknya yang sedang duduk diruang
tamu tampak terperanjat begitu menyadari kehadirannya.  Alangkah sulitnya bagi Andini untuk memulai percakapan di antara mereka. Awalnya, yang muncul hanyalah kalimat-kalimat pendek, percakapan yang tersendat-sendat mengenai hal-hal remeh. Sampai akhirnya justru orang tua itu yang lebih dulu menyinggung masa lalu mereka.
"Bapak sudah mencarimu kemana mana Andini. Bapak sudah hampir putus asa saat itu. Ternyata Bapak tidak bisa hidup sendiri. Dua puluh tahun Bapak hidup dalam kesepian dan keputus asaan”. Alangkah mengerikannya kesepian itu. Siapa yang mengira orang tua itu ternyata pernah mencarinya dipanti asuhan , namun terlambat. Andini telah diadopsi oleh keluarganya yang sekarang.
 Andini diam, berharap orang tua itu menyelesaikan kalimatnya.
"Bapak telah banyak melakukan kesalahan dalam hidup ini. Bapak tidak bisa memberikan keluarga yang utuh untukmu.  Bapak tahu kamu pasti marah sama Bapak.  Sesungguhnya Bapak tidak pernah melupakanmu Andini. Maafkan Bapak!”
Mimpi paling buruk bagi orang tua itu adalah ketika anaknya tak mau mengakuinya. Kebekuan di hatinya mulai mencair seperti kotak eskrim terkena sinar matahari. Ia menangkap getar kepedihan dari suara bapaknya.
 "Bagaimana Bapak bisa tahu aku tinggal disini?” Sejenak orang tua itu terdiam. Suara burung menyapa pagi bergema di halaman.
"Bapak diberitahu oleh penjaga panti asuhan seminggu yang lalu. Mereka mengetahui alamatmu setelah kamu mengunjungi panti sebulan lalu. Kau tahu Andini? Bapak seperti melihat sebuah terang diantara semua kegelapan dalam kehidupan Bapak” Sampai disitu ayahnya tertunduk diam, menahan buliran air matanya yang jatuh. Andini dapat merasakan kehadiran embun di halaman, membuat batinnya ikut merasakan kesejukan. Mendadak ia terdiam, kehilangan kata-kata, masih terkesima dengan apa yang baru saja didengarnya.
            Entah apa yang menggerakkannya, tiba-tiba saja Andini menghampiri orang tua itu. Ia mencoba tersenyum dan menarik tangan orang tua itu ke dalam genggamannya. Tanpa kata. Andini tidak tahu, apakah sekarang ia sudah bisa memberi maaf sepenuhnya kepada orang tua itu. Namun, jika ada pertanyaan dari suaminya nanti, ia akan menjawab: ia telah siap terlahir kembali sebagai manusia baru yang mencoba berdamai dengan
diri dan masa silamnya sendiri. Dan Tuhan telah melakukannya di hari natal yang indah ini.

Jakarta 03 Desember 2009, Menyimpan masa lalu yang menyakitkan itu memang lebih mudah dari pada melupakanya. Tapi bersama Tuhan tak ada yang tak pernah bisa.














P E R T E M U A N


Sizzler restoran Amerika  adalah tempat favoritku ketika aku menyembunyikan diri sekaligus mencari inspirasi untuk tulisan tulisanku. Di sanalah aku sering berpaling dari kerasnya kehidupan Jakarta ini. Sebuah restoran di pojok Mall artha gading  yang aku suka.  Aku senang berada di sana. Menurutku menunya tak terlalu istimewa, hanya aneka macam steak, salad, ice cream dan beberapa makanan kecil lainnya. Tapi suasananya membuat aku merasa nyaman untuk  duduk berlama lama sekedar menikmati hari hariku. Kukeluarkan laptop dan setelah nyala, aku  mulai mengetik. " Ibu aku merindukanmu. “ 
            Aku mengambil aneka salad yang tersaji dipojokkan restoran. Beberapa orang masuk sambil tertawa tawa, suaranya membahana diseantero restoran, mengusik sedikit ketenanganku. Aku berhenti sambil menengok kearah mereka. Salah satu dari  mereka tersenyum kepadaku. Aku membalas senyuman mereka, mungkin mereka merasa bersalah telah membuat gaduh restoran.     Aku kembali ketempat dudukku. Menikmati salad yang baru saja aku ambil. Sambil mataku memandang kearah laptopku. Membuka Face Book, menuliskan status, dan sesekali memberi komentar pada  beberapa status teman temanku. Seorang laki laki memandangku dan mata kami bertemu. Aku memalingkan muka tersipu. “ Cakep juga, sudah punya pacar apa belum ya?”  Batinku. Pasti sedang menunggu seseorang!. Terlihat masih muda. Usianya paling banyak 30 tahunan. Laki laki itu sedang asyik memainkan hand phonenya, sesekali ia menelpon seseorang. Lalu kembali tangannya sibuk memainkan hand phonenya, dilihat dari bentuknya sich sepertinya hand phone  blackberry.  Aku kembali mengetik. Tulisanku yang bernada   “Ibu aku merindukanmu”, segera aku hapus. Aku ganti dengan mengetikkan “ Engkau yang mengerti isi langit dan bumi, semoga laki laki yang duduk sendirian itu adalah jodohku.” Diam diam aku tersenyum, rasanya ingin sedikit kupaksa Tuhan untuk menjodohkan aku dengannya. Mungkin ini bisa dinamakan dengan cinta pada pandangan pertama. Hm …… tak pernah kubayangkan!!
            Laki laki itu  kembali memandangku. Sekali lagi mata kami bertemu. Ia tersenyum. Aku membalas senyumnya.             Jarak kami cuma sepelintasan jalan. Mejanya bersebrangan dengan mejaku.  Ia berhenti memainkan blackberrynya.                Kini mengeluarkan sebuah buku dan membacanya. Aku langsung bisa menebak buku yang sekarang ada ditangannya.                Buku itu sangat familiar. Pada cover depannya tertulis                 “ The Purpose Driven Life”. Ia membalik balik buku tersebut dan kembali membacanya.  Karena aku memperhatikan caranya membaca,  aku melihat jari-jarinya yang serasi dengan lengan, tubuh dan wajahnya. Ia memang lumayan tampan. Wajahnya begitu teduh dan lembut. Aku tak begitu yakin, apakah ia masih single. Melihat postur tubuhnya, wajahnya, aku yakin ia pasti telah memiliki istri, setidaknya seorang pacarlah. Kalaupun sekarang sedang sendirian disebuah restoran, pasti ia sedang menunggu seseorang dan seseorang itu pasti istimewa.
            Setengah jam telah berlalu. Laki laki itu masih sendirian, tak terlihat tanda tanda ia akan bertemu seseorang. Aku sedikit bernafas lega. Kelihatannya ia memang sendirian menikmati sore yang indah ini.  Ia masih asyik pada buku yang ada ditangannya. Sebenarnya aku merasa agak aneh juga. Ditengah lalu lalang orang yang makan di Sizzler, ada seseorang yang datang ketempat ini sekedar membaca buku. Tapi bukankah aku sendiri juga aneh, datang ke Sizzler hanya untuk memainkan Facebok dan mengetik sesuatu yang mungkin aja tiba tiba ada dalam otakku.  Aku mulai mengetik lagi.  "Tuhan aku mau dia. Jodohkan aku dengannya.” Aku berhenti mengetik. Kembali aku melihat kearah meja laki laki yang telah menarik hatiku itu.            “ Ke mana dia? Bukunya masih ada di sana. Mungkin dia  lagi ke toilet.” Hibur hatiku.
            Aku bangkit dan berjalan melewati mejanya. Mengambil beberapa kue kue kecil yang tersedia di Sizzler.  Kembali ke mejaku lagi, aku melihat buku yang dibacanya. Tidak salah              “ The purpose Driven Life.” “Hm…. Boleh juga bacaannya.”  Tak lama kemudian ia datang. Langkahnya tegap dan nampak berwibawa.   Ia memakai  celana jeans biru dan  kaos oblong  warna putih yang pas dengan tubuhnya. Kelihatan lebih tampan dibandingkan saat dia hanya duduk tadi. Tubuhnya kelihatan atletis. Ia pasti sangat suka berolah raga. Aku mulai menganalisa penampilannya. Rambutnya tersisir rapi. Kini ia  lewat persis di depanku. Aku mencium aroma parfum yang lembut.                       Aku mengangguk sambil tersenyum kepadanya dan dia membalas senyumanku. Ia berjalan ke kasir. Apakah akan membayar dan pergi? “ Oh Tidak, Tuhan jangan biarkan ia pergi!” teriak kecilku kepada Tuhan. Ternyata aku salah.  Rupanya ia memesan sesuatu. Kasir itu mengangguk, tersenyum dengan ramah.. Sekali lagi ia berjalan di depanku.
"Hai, sedang menulis apa?" Ia bertanya sambil tersenyum. Aku seperti tak percaya pada pendengaranku sendiri.  
   “Ya Tuhan ia menegurku!”
"Hm……menulis apa aja”  jawabku dengan senyuman yang kubuat semenarik mungkin. Begitulah strategiku ketika berhadapan dengan mahluk setampan yang ada didepanku ini.
“ Aku pikir tadi kamu sudah mau pulang.” Aku mulai mengeluarkan jurusku yang lain, membuat pembicaraan sepanjang mungkin, agar mahluk tampan ini bisa betah berlama lama denganku.
“ Belum. Aku masih senang di sini."
 "Suka membaca ya?"
"Suka juga. Kamu sendiri lagi mengetik apa?"
"Aku? Aku mengetik isi hatiku."
"Hm…..kelihatannya romantis. Kamu kuliah Sastra ya?"
"Begitulah."
Seorang pelayan datang sambil membawa nampan. 
"Maaf Pak," katanya,
"Apakah minumannya diletakkan di meja Bapak?"
Laki laki itu  mau menjawab. Tapi aku segera berkata.
"Bagaimana kalau bergabung di mejaku?”
Aku yang biasanya pemalu, agak sedikit agresif juga.                    Ia tersenyum. Hm….. senyumnya manis sekali, lesung pipitnya yang hanya terpasang pada satu pipi sebelah kiri itu, rasanya pas sekali tertempel disana. Dan dari senyumnya itu seperti keluar berbagai jenis bunga. Persis iklan odol jaman dulu.
 "Di sini saja!"  Pintaku kepada pelayan yang membawakan pesanan laki laki itu.
Ia berjalan ke mejanya, mengambil barang-barangnya dan berjalan ke mejaku. Pelayan meletakkan minuman. Segelas lemon tea. Sama dengan minuman kesukaanku.
"Suka lemon tea juga?” 
”Favorit” jawabnya singkat
Hatiku bersorak kegirangan, demi mendengar minuman favoritnya sama dengan minuman kesukaanku juga.
"Hah….. yang benar?"
“Yach …… begitulah!”
“ Oh God …..!”  Diam diam aku mengetikkan sebuah kalimat “ Terimakasih Tuhan, apakah ini pertanda KAU jodohkan aku dengannya?”
"Asli Jakarta? “ Ia memulai percakapannya denganku
“Bukan! Aku dari Tulungagung.”
"Oh. Tulungagung?" Ia seperti terkejut mendengar asal usulku
"Ya. Tulungagung."
"Oh, kukira kamu asli Jakarta"
"Yach …. Ngomongnya medok begini! Gimana sich …..Masak elo kagak ngerti!" Aku sengaja mengajaknya bercanda. Ia tertawa. Matanya indah. Tatapannya tajam menghujam.
“Kamu sendiri dari mana?” aku balik bertanya
Surabaya.”
“Oh ya? Wah aku ketemu temannya bonek dong! Ia tertawa menanggapi perkataanku.
“Dulu aku juga kuliah di Surabaya lho!”
“O ya, wah pertemuan tak terduga nich! Aku belum tahu namamu. Aku Fabian, panggil aja Bian!."                   
Ia mengulurkan tangannya. Aku membalas jabatannya sambil memberikan senyum termanisku.
"Nama yang bagus. Aku Puspa."
"Aku suka namamu. Nama yang indah seperti nama bunga."
"Oh ya, thank you!"
            Senja mulai merapat menjadi malam. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Dua meja dari sebrang kami, duduk lima orang anak ABG. Mereka bercakap cakap dengan gembira. Sesekali tawa mereka meledak. Begitulah anak anak ABG selalu memiliki segudang keceriaan, seolah hidup ini memang tanpa beban. Persis di depan mereka , seorang wanita kira kira berusia 20 tahunan sedang duduk melamun. Tangannya memilin milin tissue, sampai tissue tersebut sedikit berserakan dimeja. Wajahnya  nampak sedikit resah.  Kemudian masuklah seorang lelaki dan menghampiri meja perempuan tersebut.  Seorang pelayan mendekat, menyodorkan menu. Lelaki itu sama sekali tak peduli. Perempuan itu menyebutkan sesuatu. Pelayan pergi. Tak lama kemudian lelaki itu bangkit, dan sambil menunjuk  nunjuk, berteriak kepada perempuan itu.
“Kelihatannya mereka sedang berpacaran.”
Aku mengarahkan mataku pada pemandangan yang ada disebrang meja kami.
"Sang cewek lagi ngambek tuh! Pertengkaran sudah dimulai!"  sambut Fabian, cowok yang baru saja aku kenal itu.
"Benar. Tapi untuk apa ? Hidup seharusnya dibuat lebih gembira!"
"Aku setuju! Tapi yach …. begitulah hidup.  Kamu sendiri, pernah jugakan bertengkar dengan pacarmu?"
"Aku? Oh, aku lagi jomblo …. Man!"
"Nggak punya pacar! Ah nggak mungkin! Masak wanita secantik kamu ini, nggak punya pacar sich!”
“Hm….. enggak!” Aku mengangkat bahuku sambil menggeleng meyakinkan pernyataanku.  Dalam hati aku berkata                              “ Gombal juga nih cowok!” Tapi kata katanya barusan sempat membuat hatiku berdebar debar “ Wanita secantik kamu ……….. Wow!” Kemudian aku langsung mengetik sesuatu
“ Tuhan semoga ia memujiku dengan tulus!”
“Kamu mengetik apa sich?” ia penasaran
Kan aku sudah bilang tadi, aku sedang mengetik isi hatiku!”
“Jadi semua hatimu bisa dilihat  dilaptop dong!”
Kami berdua tertawa berderai derai menikmati kebersamaan ini. Kelihatannya ia mulai nyaman berada didekatku.
“Kamu biasa datang kesini ya?”
“Iya”
“Hanya untuk menulis?”
“Nggak juga sich! Kadang sekedar menikmati makanan atau yach melamunkan sesuatu! Kamu sendiri?”
“Aku? Ini baru pertama kali aku ke Sizzler Artha Gading, aku tinggal di Jakarta barat”
“Kok bisa nyasar kesini?”
“ Karena aku lihat kamu tadi! Ada wanita cantik sedang duduk sendirian, jadi aku ingin menemaninya. ”
“Ah … gombal deh!”  Aku jadi salah tingkah menghadapi sedikit sikap nakalnya itu. Kali ini dia berbicara sambil menatap mataku tajam. Aku benar benar dibuatnya tak mampu bersikap dengan wajar. Dan itulah kelemahanku, selalu saja tak berdaya berhadapan dengan pria berwajah tampan. Aku hanya bisa memarahi diriku sendiri serta menyesali kelemahanku itu.
“Nggak kok, jadi tadi aku seharusnya bertemu salah satu rekanan kerjaku! Tapi mendadak ia membatalkan janjinya, maka tersesatlah aku disini!”  Ia meralat  penjelasannya. Mungkin ia tak mau terlihat genit didepanku. Padahal aku sudah terlanjur suka dengan peryataan gombalnya tadi.
“Sebentar ya!”  Belum sempat aku bertanya, Ia sudah berdiri dan berjalan menghampiri sebuah meja yang  memajang aneka ice cream. Tak tahu apa yang akan ia ambil. Aku kembali menatap laptopku yang isi tulisannya sama sekali tak ada sambungan ceritanya. Hanya sebuah pernyataan pernyataan singkat yang mengandung isi hatiku saat ini. Aku ketik kembali sebuah tulisan “ Tuhan,  Kau pasti mengerti isi hatiku! Apakah mahluk setampan ini yang Kau kirimkan untukku?” Diam diam aku tersenyum dalam hati, menyadari kekonyolanku. Namun rupanya senyum dihatiku itu tersirat keluar. Karena tiba tiba sebuah teguran menghampiriku.  “Kok sepertinya bahagia begitu!”                Ia datang sambil membawa dua gelas ice  cream. Kaget juga aku dibuatnya. Aku hanya tersenyum malu, seolah menyadari ia bisa menebak isi hatiku.
“ Satu gelas ice cream coklat plus sedikit vanilla, untuk wanita cantik yang baru aku kenal .”
“Thank you.” Aku merasa tersanjung, sepertinya kali ini ia tidak bercanda.
Obrolan demi obrolan mengalir lancar, sambil kami menikmati semua sajian yang ada di Sizzler.  Satu jam telah berlalu sejak pertemuan kami.
“Oh ya kamu tadi bilang dari Tulungagung, sepertinya aku pernah punya beberapa teman yang berasal      dari   sana lho!”
“O ya? Siapa namanya?” Aku antusias demi mengetahui ia mengenal beberapa orang dari kotaku itu.
“Aku lupa, itu sudah lama sekali. Saat  itu aku masih SMP.”
“Tapi mungkin kalau aku lihat wajahnya, aku pasti tahu kalau itu teman aku waktu di gereja Surabaya.”
“Aku mungkin?”
“Ya nggak mungkinlah, kalau kamu pernah aku kenal di Surabaya, pasti tadi aku langsung mengenalinya.”
“Acara apa di gereja Surabaya?” aku balik bertanya
“Acara liburan anak sekolah, yach semacam pemahaman alkitab begitu.”
“GPPS Sawahan!” Aku langsung berteriak
“Kok kamu tahu?”
“Yach….hampir setiap tahun  aku berada disana, setiap kali aku liburan sekolah!”
Seperti menemukan sesuatu yang hilang, kami berdua sangat antusias ketika membahas topik yang mereview masa masa remaja kami itu.
“Tunggu….tunggu!! Fabian seperti berpikir keras mengingat ingat sesuatu yang pernah terjadi dimasa lalu itu.
 Keningnya berkerut, matanya menyipit, aku jadi punya alasan untuk diam diam memperhatikan wajahnya.  Aku mengetik lagi “Ya Tuhan, kutitipkan cintaku kepadaMu, berikanlah kepada laki laki yang ada didepanku ini”.
“Tapi kamu yang mana ya? Ah…aku bener bener nggak ingat lho sama kamu.” Ia seperti menyesali ingatannya yang telah mengabur itu.
“It’s ok, yang penting khan kita sekarang bisa berkenalan.”
“Coba nanti aku lihat album foto yang lama lama dirumah, siapa tahu aku menemukanmu”  Ia nampak tak putus asa berusaha menemukan potongan potongan ingatan yang telah terlupa itu. Aku sendiri tak terlalu peduli, apakah ia temanku dimasa lalu atau bukan, yang jelas aku telah tertarik dengannya.
            Baru beberapa saat kita berkenalan, rasanya kita  sudah seperti sahabat yang akrab saja. Dia benar benar pria yang hangat, menarik dan bisa menghidupkan suasana. Akupun tak merasa ragu lagi untuk berkenalan lebih lanjut dengannya. Sambil menikmati pudding caramel kesukaanku, akupun
memutar otak, bagaimana caranya pertemuan hari ini bisa berlanjut kepertemuan pertemuan selanjutnya. Aku ingin terlebih dahulu meminta nomor telponnya , tapi aku malu. Aku tak mau terkesan seperti wanita murahan, yang seolah olah gampang jatuh cinta dan  telah terpikat dengannya. Meskipun sebenarnya aku memang telah terlanjur tertarik dengannya.  Kawan! Ini rahasia kita ya, jangan bilang siapa siapa!  Laki laki didepanku ini memang  benar benar telah membuatku jatuh cinta.
            “Oh God!” Tiba tiba aku tersadar, aku belum tahu status laki laki yang telah aku ributkan didalam hatiku ini.  Single, menikah, berpacaran atau apa? Aku menyesal tak langsung bertanya saat ia  bertanya tentang statusku tadi. Harusnya aku balik bertanya. Aku mengetik lagi “ Tuhan bantu aku, kalau memang ia jodohku, biarlah ia mengaku kepadaku, siapa ia sesungguhnya.”
“Boleh tidak aku melihat apa yang sedang kamu ketik dilaptopmu?” Deg! Jantungku berdegup kencang! “Eh jangan!” Aku langsung berteriak kaget sambil berusaha menutupi layar monitor laptopku.
“Kenapa?”
“Itu rahasia hatiku!”
“Terus siapa yang boleh tahu?”
“Yah hanya pacar aku.”
“Tadi ngakunya masih jomblo, hayoo! Ia menggodaku
‘Maksudku nanti calon pacarku!” Aku segera melarat ucapanku
Ia tersenyum demi melihatku yang memang salah tingkah dihadapannya.
“Kamu suka main rahasia juga ya?”
“Harus dong! Setiap orang harus memiliki rahasia hidupnya, kalau tidak! Kita akan telanjang kemana mana.”  Ia tertawa terbahak bahak mendengar ucapku barusan. Selanjutnya tiba tiba ia terdiam sambil memandangku tajam. Ditatap sedemikian itu, aku jadi serba salah.
“Hai …… Kenapa? Ingat pacar?”
Tanpa sadar aku mengeluarkan isi hatiku yang dari tadi aku pendam karena perasaan gengsi. Namun ternyata antara bibir, otak dan hatiku mampu bekerja sama dengan baik. Dan tibalah telingaku dengan seksama yang bertugas mendengarkan.
“Nggaklah! Aku belum punya pacar kok! Hm …. Jomblo juga”
“Kok ngomongnya ragu sich!
Sepertinya jomblo itu sebuah aib ya!.”
“Bukan begitu!”  Ia bisa juga salah tingkah didepanku.
Lewat obrolan itu, akhirnya aku tahu, ia belum memiliki pacar dan sedang tidak terikat hubungan dengan siapapun.                       Aku mengetik lagi “Terimakasih  ya Tuhan, Selanjutnya terjadilah menurut kehendakMU.”   Jika hidup ini ibarat sekotak coklat , aku pasti tak akan sesegera menghabiskannya. Bagiku tidak ada cerita yang lebih indah dan membahagiakan saat aku bertemu dengannya. Bertemu seorang laki laki yang telah Tuhan kirimkan untukku secara tiba tiba. Ini adalah pertemuan tak terduga. Tanpa firasat, tanpa pemberitahuan. 
            Kemudian tibalah saat yang menyedihkan. Acara pertemuan berakhir dan aku harus berpisah dengannya. Kami saling mengucap salam perpisahan.  Tak lupa pula kami juga saling bertukar identitas.
“Ok …..sepertinya sudah terlalu lama kita disini!” Fabian mulai berdiri dan membereskan semua barangnya.
“Nggak nunggu diusir nih !” candaku.
 Ia tersenyum menanggapi ucapku.
“Sampai bertemu Puspa, nice to met you!”
“Met too!” Jawabku singkat. Hatiku benar benar tak rela, ia beranjak dari hadapanku.  Mengiringi langkahnya pergi dari pandangan mataku, kembali aku mengetik dengan perasaan yakinku  “ Ibu aku merindukanmu, hari ini aku telah berkenalan dengan calon menantumu.”  Itulah tulisan terakhir yang aku tulis, sebelum aku berkemas untuk meninggalkan Sizzler.
             Begitulah kawan, jodoh itu adalah misteri Tuhan.  Aku sama sekali tak pernah berpikir ataupun merencanakan akan bertemu dengan Fabian ditempat ini. Tapi Tuhan telah mempertemukan kami dengan caranya yang ajaib.  Seperti mimpi yang menjadi kenyataan, tiba tiba hand phoneku berbunyi. Sebuah sms menuliskan “ Thanks for today! Maukah wanita cantik yang membaca sms ini, menjalin hubungan lebih lanjut denganku?” . Tanpa berpikir lagi aku langsung menjawab sms yang telah mampu memporak porandakan hatiku karena gembira itu “Maaaaaaaaaaauuu!”




Kunantikan janji Allah digenapi dalamku
Ku harapkan sesuatu terjadi dalam hidupku
Aku tahu DIA kerjakan seturut FirmanNYA
Aku yakin Dia sediakan seturut kasihNYA

Jakarta, 13 Mei 2010. Allah adalah mak comblang yang terbaik untuk urusan cinta kita, jadi percayakan saja jodoh kita kepadaNYA.

PINTU KAMAR YANG RUSAK


Aku dan Fang Fang telah berteman selama   8 tahun, kami merasa cocok satu sama lain, kebetulan kami juga tinggal dalam  satu kost. Kami juga terlibat dalam satu pelayanan yang sama. Melayani anak anak sekolah minggu. Mungkin terlalu berlebihan kalau aku bilang kami juga memiliki kepribadian yang hampir sama. Aku dan Fang Fang adalah sosok pribadi yang sangat berbeda.  Aneh memang kalau kami bisa bersahabat. Tapi Tuhan telah mempertemukan kami dan menjadikan kami sepasang sahabat yang saling mengasihi dalam pelayanan ataupun kehidupan sehari-hari. Dan yang terjadi akhirnya adalah kami saling mempengaruhi satu sama lain. Aku belajar banyak dari kehidupan Fang Fang. Hatinya yang lembut, tutur katanya yang halus terjaga, selalu memberkatiku saat kami bersama.
Suatu hari saat aku berencana menjual mobil, calon pembeli mobil itu datang dan mencoba menghidupkan mesin mobil yang terparkir didepan kamar Fang Fang. Kebetulan kamarnya terletak didepan garasi. Aku memang selalu memasukkan  satu kopling setiap kali  aku memarkir mobilku. Entah teori dari mana, yang jelas teori itu aku gunakan  untuk menghindari pencurian mobil saja. Kalau koplingnya aku masukkan, otomatis si pencuri akan merasa kesulitan untuk mengambilnya. Tapi ini hanya teoriku sendiri Kawan! Jangan pernah menirunya.  Sehingga ketika  calon pembeli itu menghidupkan mobil, maka mobil itu terloncat dan menabrak kamar Fang Fang. Aku sendiri lupa untuk mengingatkan. Aku terdiam seketika, shock luar biasa, berdiri bagai patung saat aku melihat kamar Fang Fang yang hancur berantakan karena tertabrak mobilku.
Sampai akhirnya Fang Fang menepuk pundakku, lalu mengatakan sesuatu yang luar biasa. Aku  berpikir ia akan marah dengan semua yang terjadi, tapi yang dikatakannya sungguh tak terduga : “Bersyukur dalam segala hal, Wen! Allah ijinkan semuanya terjadi, percayalah semua akan baik-baik saja”. Aku tak mampu berkata apa-apa, bahkan tidak memiliki jawaban apapun juga atas pernyataannya. Ada sesuatu dalam nada bicaranya, dan Fang Fang tidak sedang bercanda.                            Ia mengatakannya dengan tulus. Bahkan ketika tante kost mengharuskan aku mengganti pintu  yang rusak itu, ia menawarkan sejumlah uang untuk meringankan bebanku, dan tentu aku tidak mau begitu saja menerima semua tawarannya itu. Bagiku kesabaran hatinya sudah cukup membantu menguatkanku.
Aku sungguh tertekan dengan semua kejadian itu, cukup membuat hidupku tersiksa beberapa waktu lamanya sampai pintu yang rusak tersebut selesai diperbaiki. Tetapi persahabatan sejati yang ditunjukkan oleh  Fang Fang, sungguh mengingatkan aku akan Allah yang dengan kasih sayangNya menggembalakan domba dombaNYA di padang rumput.
Aku merasa masalah yang aku hadapi tampak kecil saat Fang Fang dengan sabar mendampingiku dalam masa-masa yang sulit. Lewat pintu kamar yang rusak itu ada hal- hal yang bisa aku pelajari, dan aku tahu uang tidak akan pernah bisa membeli ataupun mengganti perasaan yang aku miliki terhadap seorang Fang Fang.
Aku tahu Allah akan memeliharaku dan menjaga hidupku. Dengan menjadi sahabatku, Fang Fang telah menunjukkan betapa besar kasih Allah kepadaku.
“Persahabatan mendatangkan kemakmuran dan meringankan penderitaan dengan membaginya dan menjadikannya beban bersama” 

Surabaya,  November 1998